Ke Kuburan
Catatan Ibadah ke-1 Minggu 9 April 2023
Keesokan malamnya aku bertanya kepada
temanku tadi, "Bagaimana cengbengmu? Aman?" Dia menjawab, "Ya,
lebih aman daripada tahun lalu." Karena kutahu dia takut Covid sehingga
dulu amat berhati-hati kalau mau pergi, aku pun langsung menimpali, "Bukan
soal Covid-nya, tetapi soal tantemu."
Dia pun menjawab, "Aman. Salah satu tanteku
– pemilik usaha martabak dan terang bulan yang mentraktir kami makan."
Rotinya pun tidak dikritik. Ealah. Begitu kok semalaman khawatir? Jangan-jangan
dia juga memikirkan masalah itu selama berbulan-bulan sejak cengbeng tahun
lalu.
Siapa sangka sudah ada yang menggulingkan
batu besar itu tanpa sepengetahuan dia. Setelah
acara cengbeng tahun lalu mungkin sudah ada orang yang menegur tantenya.
Mungkin orang itu berkata kepada tantenya, "Kamu tuh lebih tua darinya.
Seharusnya kamu yang traktir. Untung-untung dia mau traktir kita. Anakmu aja
belum tentu mau."
Mungkin pula tantenya juga telah mengalami
hal yang sama. Mungkin dia telah mentraktir orang lain lalu diperlakukan
seperti itu sehingga sadar bahwa kata-katanya keterlaluan. "Sepertinya aku
kena karma karena ponakanku. Ternyata gak enak digituin." Itu
sebabnya dia tidak mengulangi kesalahan tahun lalu. Hehehe ... pastinya ada
banyak kemungkinan yang bisa terjadi dalam waktu setahun itu.
Namun, sebaiknya memang jangan terlalu berharap kepada keluarga. Iblis tuh memang mau menghancurkan banyak keluarga dengan memanfaatkan kelemahan hati masing-masing anggotanya. Keluarga itu bukanlah harapan hidup. Yesus Kristuslah harapan hidup. Ketika ada masalah, keluargalah yang akan pertama kali menghakimi dan mempersalahkan kita karena mereka paling tidak segan terhadap kita.
Ketika kekurangan, keluargalah yang akan
pertama kali lari meninggalkan kita karena takut dimintai bantuan. Ketika sukses,
keluargalah yang merasa paling berhak untuk menikmati bagian pertamanya yang
terbesar. Kalau kita berbagi kesedihan dengan mereka, justru kesedihan kita
akan bertambah. Alhasil, kita hanya bisa mengelus dada sambil berkata,
"Keluarga kok gitu?" Lalu kita ikut bertanya-tanya seperti Yesus.
Matius 12:48b
(TB) "Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?"
Namun, Yesus sudah memiliki jawabannya.
Maka, ujung-ujungnya kita jadi menyetujui perkataan Yesus.
Matius 12:49-50
(TB) Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: "Ini
ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku
di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah
ibu-Ku."
Yesus tuh anak sulung. Sebagai anak sulung
dia pasti diharapkan menjadi penopang tulang punggung keluarga. Namun, Yesus
malah menjadi pahlawan tanpa tanda jasa dengan menjadi pengajar tanpa upah yang
pasti. Siapa yang bisa memahami jalan pikiran-Nya, selain Bapa di surga?
Orang-orang seusianya sibuk mengejar karir dan membangun keluarga baru. Namun, Dia malah berkata, "Manusia hidup bukan hanya dari roti saja." Keluarga-Nya mungkin menjawab, "Kamu bisa hidup tanpa roti, tetapi kami tidak bisa. Jangan terlalu naif. Kerja sana. Kalau Kamu tidak bisa makan, jangan minta-minta kepadaku."
Jadi, keluarga hanyalah tempat berbagi
kebahagian. Ada kutipan yang berbunyi, "Bagikan kesedihanmu, maka
kesedihanmu akan berkurang. Bagikan kebahagiaanmu, maka kebahagiaanmu akan
bertambah." Faktanya, kutipan ini tak selamanya benar.
Setiap orang bisa memiliki jalan hidup yang
berbeda. Bagi Yesus, kebahagiaan itu mungkin sama saja seperti kesedihan. Makin
dibagikan, tentu sama-sama makin bertambah. Maka, jarang sekali Yesus
membagikan kesedihan-Nya. Yesus lebih suka berbagi kebahagiaan. Dia miskin agar
kita diperkaya. Dia lemah agar kita dikuatkan.
Di sisi lain, ada pula orang-orang yang
justru mengalami kesedihan dan kemarahan ketika membagi kebahagiaannya. Ini
karena pemberian mereka tidak dihargai atau diapreasi. Oleh karena itu, ketika
kita berbagi kebahagiaan, jangan berharap apapun.
Keluarga tuh tempat kita belajar kasih. Kasih
itu memberi tanpa harap kembali. Kalau masih berharap sesuatu, termasuk
apreasiasi, ini bukan kasih, tetapi transaksi. Padahal, transaksi itu
seharusnya dilakukan di pasar, bukan di dalam keluarga.
Kalau berharap di tempat yang salah, ya
pasti kecewa. Tidur pun tak tenang hingga teman yang mau tidur pun ikut terusik
hatinya. Untung si teman sudah pernah melalui masa kelam itu. Hehehe ...
BEJANA-MU
Kekuatan di jiwaku,
ketenangan batinku ada dalam hadirat-Mu. Kumenyembah-mu. Tersungkurku di
kaki-Mu. Rasakan hadirat-Mu. Tak 'kan ku melepaskan-Mu. Kau cahaya bagiku.
Reff: Mengiring-Mu seumur hidupku, Masuk dalam rencana-Mu Bapa.
Pikiranku, kehendakku, kuserahkan pada-Mu. Harapanku hanya di dalam-Mu. Ku 'kan
teguh bersama-Mu Tuhan. Jadikanku bejana-Mu untuk memuliakan-Mu.
0 komentar:
Post a Comment