Sunday, May 17, 2015

Berserah kepada Tuhan: Mengasihi “Kota Pembuangan”


Beberapa ayat khotbah hari ini mengingatkanku pada perang saudara yang kualami di “kota pembuangan”. Sejujurnya aku belum bisa mengasihi kota itu... syukur-syukur aku tidak membencinya... karena masalahku bukan sekedar pizza tetapi ini soal hati seorang hamba yang tertekan oleh penguasa dunia yang suka marah-marah. Fiuh... untunglah aku hanya sebentar di sana (tidak sampai setahun). Bila sampai 25 tahun seperti pak Chris, tak terbayangkan derita hati ini.

Namun, setelah kupikir-pikir yang kuhindari selalu saja kutemui. Mengapa selalu saja berurusan dengan orang-orang pemarah? Dampaknya dari melankolis jadi semakin tegar...hehehe...
Di “kota pembuangan” pertama dan kedua: bila dimarahi, selalu menangis atau mati-matian menahan tangis sehingga ada yang mengatakan bahwa aku ini tidak bisa dimarahi...hihihi...
Di “kota pembuangan” ketiga: mulai berani mokong alias bikin ulah pembalasan. Bila atasan marah-marah, lancarkan serangan balasan biar kapok...hehehe... Akhirnya aku kalah sendiri.
Di “kota pembuangan” keempat: ambil langkah seribu saja karena atasan yang suka marah-marah bejibun banyaknya. Kaburrrrrrrrrrrrr....
Di “kota pembuangan” kelima: maunya kabur lagi tetapi malah ditegur dengan khotbah tentang Yefta dan Yeremia 29:7
Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. (Yeremia 29:7)
Proses Pertumbuhan Rohani
Akhirnya berusaha membantah tetapi terbentur 2 aturan bos, yaitu:
Aturan I: Bos tidak pernah salah.
Aturan II: Bila bos salah, baca aturan I.
Jadi, pokoke gitu... kerjakan saja... pokoke maunya gitu... diikuti saja.

Ketika Tuhan telah membukakanku jalan ke padang gurun, bos masih belum sepenuhnya mengikhlaskan kepergianku. Saat itu aku pun curhat kepada saudara seiman yang beda gereja tetapi dia berkata: “Tuhan tidak akan membelah Laut Merah karena kalian bersaudara (masih satu gereja ‘kan).” Jawabku: “Iya, tapi Tuhan pasti memihak yang lemah (agar tak ada yang binasa).”

Eh, waktu di gereja tiba-tiba saja Philip Mantofa juga mengatakan hal yang sama meskipun seperti tidak nyambung dengan topik khotbahnya: “Tuhan tidak akan membelah Laut Merah.” Hahaha... ternyata benar. Kala itu Tuhan memang tidak membelah Laut Merah tetapi hanya mengobok-obok hati mereka dengan firman agar mau merelakan kepergianku dari “kota pembuangan” itu.
Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. (Yesaya 60:1)
Wew... Yesaya 60 terdengar indah tetapi menghidupinya sungguh menakutkan bro... mengerikan sis... Meskipun tidak langsung berperang sambil berhadapan muka, tetap saja menakutkan. Kalau bukan karena penyertaan Tuhan, aku tak mau maju berperang sebagai pengeras suara Tuhan. Biar pendeta saja yang menegur mereka secara langsung karena kelihatannya pendeta lebih berani daripada aku. Iya apa iya? Ya... iya lha... lihat jam terbang imannya.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.