Beberapa ayat khotbah hari
ini mengingatkanku pada perang saudara yang kualami di “kota pembuangan”.
Sejujurnya aku belum bisa mengasihi kota itu... syukur-syukur aku tidak
membencinya... karena masalahku bukan sekedar pizza tetapi ini soal hati seorang hamba yang tertekan oleh
penguasa dunia yang suka marah-marah. Fiuh... untunglah aku hanya sebentar di
sana (tidak sampai setahun). Bila sampai 25 tahun seperti pak Chris, tak terbayangkan derita hati
ini.
Namun, setelah
kupikir-pikir yang kuhindari selalu saja kutemui. Mengapa selalu saja berurusan
dengan orang-orang pemarah? Dampaknya dari melankolis jadi semakin
tegar...hehehe...
Di “kota pembuangan” pertama dan kedua: bila dimarahi, selalu menangis
atau mati-matian menahan tangis sehingga ada yang mengatakan bahwa aku ini
tidak bisa dimarahi...hihihi...
Di “kota pembuangan” ketiga: mulai berani mokong alias bikin ulah
pembalasan. Bila atasan marah-marah, lancarkan serangan balasan biar kapok...hehehe...
Akhirnya aku kalah sendiri.
Di “kota pembuangan” keempat: ambil langkah seribu saja karena atasan
yang suka marah-marah bejibun banyaknya. Kaburrrrrrrrrrrrr....
Di “kota pembuangan” kelima: maunya kabur lagi tetapi malah ditegur
dengan khotbah tentang Yefta dan Yeremia 29:7.
Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. (Yeremia 29:7)
Aturan I: Bos tidak pernah salah.
Aturan II: Bila bos salah, baca aturan I.
Jadi, pokoke gitu...
kerjakan saja... pokoke maunya gitu... diikuti saja.
Alhasil, terjadilah pergumulan mulai dari lagu ‘Tak Bisa Pindah ke Lain Hati’ sampai ‘Hadapi dengan Senyuman’ lalu
ditutup dengan perang yang ganjil.
Ketika Tuhan telah membukakanku jalan ke padang gurun, bos masih belum sepenuhnya
mengikhlaskan kepergianku. Saat itu aku pun curhat kepada saudara seiman yang
beda gereja tetapi dia berkata: “Tuhan
tidak akan membelah Laut Merah karena kalian bersaudara (masih satu gereja ‘kan).”
Jawabku: “Iya, tapi Tuhan pasti memihak
yang lemah (agar tak ada yang binasa).”
Eh, waktu di gereja
tiba-tiba saja Philip Mantofa juga mengatakan hal yang sama meskipun seperti tidak
nyambung dengan topik khotbahnya: “Tuhan
tidak akan membelah Laut Merah.” Hahaha... ternyata benar. Kala itu Tuhan memang
tidak membelah Laut Merah tetapi hanya mengobok-obok hati mereka dengan firman
agar mau merelakan kepergianku dari “kota
pembuangan” itu.
Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. (Yesaya 60:1)
Wew... Yesaya 60 terdengar indah tetapi menghidupinya sungguh menakutkan bro... mengerikan
sis... Meskipun tidak langsung berperang sambil berhadapan muka, tetap saja menakutkan.
Kalau bukan karena penyertaan Tuhan, aku tak mau maju berperang sebagai pengeras suara Tuhan. Biar pendeta saja yang menegur mereka secara langsung karena
kelihatannya pendeta lebih berani daripada aku. Iya apa iya? Ya... iya lha...
lihat jam terbang imannya.
0 komentar:
Post a Comment