Tempat yang Tepat
Catatan Ibadah ke-1 Kamis 29 Mei 2025
"Tuhan, apa Kau tidak salah
menempatkanku? Mengapa sejak menjadi Kristen, Kau justru sering
menempatkanku di tempat-tempat yang gelap? Mengapa beberapa orang baik harus
mengalami tindak kejahatan? Bukankah seharusnya setiap orang diberi malaikat
pelindung? Bukankah malaikat pelindung bertugas untuk menjauhkan mereka dari
kejahatan dan malapetaka? Namun, mengapa tidak seperti ini? Apakah surga
kekurangan malaikat pelindung? Ah, sepertinya aku terlalu banyak
berimajinasi."
Beberapa hari lalu salah satu teman retreat-ku
baru mengakui bahwa dulu dia resign dari tempat yang kurekomendasikan
karena beberapa rekan kerja wanita suka pegang-pegang 'gunung' sesama teman wanita
lainnya. Karena dia tidak mau dipegang-pegang, dia pun dikucilkan. Maka, dia resign.
Sebelum dia bekerja di sana, aku lebih dulu bekerja di sana sehingga aku pun
tahu bahwa dia tidak mengada-ada. Aku pun tidak peduli sekalipun dikucilkan
oleh mereka karena saat itu aku masih memiliki teman wanita tua yang tidak
mesum.
Sayangnya, wanita tua itu baru saja pensiun
ketika temanku menggantikanku. Jadi, dia resign pula setelah menggantikanku
selama beberapa bulan. Nah, ketika pindah ke tempat kerja baru, dia pun
menyaksikan atasannya lesbi sehingga ingin pindah lagi. Namun, akhirnya dia
terpaksa resign karena terpeleset di rumahnya sendiri dan tangannya
harus dipasang pen.
Hal yang serupa pun tak bisa kuhindari. Seringkali aku pun mendengar keberadaan ayam kantor di tempat kerjaku. Mereka bisa dibooking demi sejumlah uang. Bahkan, beberapa di antaranya sampai viral di Tiktok. Beberapa warga Cina dan Taiwan juga terikat budaya kumpul kebo. Lalu mengapa Tuhan tidak mengutus orang yang pandai berbahasa Cina untuk menyadarkan mereka? Mengapa orang Kristen yang pandai berbahasa Cina justru cari aman? Apa tidak salah jika Tuhan mengutus orang Kristen yang berbeda bahasa dari mereka?
Kejadian 1:4: Allah
melihat bahwa terang itu baik, lalu memisahkannya dari gelap. Allah menamai
terang itu "Siang" dan gelap itu "Malam".
Dulu kupikir menjadi Kristen berarti kita
akan ditempatkan di tempat-tempat terang karena Tuhan telah memisahkan gelap
dan terang. Setelah menerima Yesus, kita pun menjadi anak-anak Terang sehingga
kita harus hidup dalam Terang. Jadi, seharusnya anak Terang menjauhi anak kegelapan
karena di Alkitab juga tertulis bahwa pergaulan yang buruk bisa merusak
kebiasaan yang baik. (1 Korintus 15:33 TB)
Jadi, di dalam bayanganku semua orang
Kristen harus selalu menghindari anak kegelapan atau orang-orang buruk. Maka,
jika Tuhan menempatkanku di antara teman-teman yang buruk, aku selalu bertanya,
"Apa Kau tidak salah menempatkanku? Apa tidak ada tempat yang Terang? Jika
aku selalu ditempatkan di antara anak kegelapan, bagaimana jika aku sampai
terpengaruh oleh mereka?”
Matius 9:12-13 (TB) Yesus
mendengarnya dan berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi
orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki
ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk
memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."
Apakah setiap orang Kristen bisa menjadi
tabib? Tentu saja tak semudah itu karena jika masih kurang terlatih, tabib pun
bisa menjadi pasien. Dokter saja membutuhkan jam terbang, bukan sekadar belajar
teori. Jadi, penempatan tugas pun seharusnya sinkron dengan waktu Tuhan. Jangan
sampai kita mencobai diri sebelum waktunya.
Nah, karena momen kandang babi pak Antoni,
aku pun teringat kembali akan momen kandang ayam. Hal itu merupakan
momen yang menakutkan dan menjijikkan, tetapi aku bisa melewatinya bersama
nomer 38 dan 114. Hehehe... 23 pun masih ingat nomer mereka. Saat
itu, sekalipun kami menyentuh tahi ayam yang menempel pada telor, kami tidak
membiarkan kotoran itu mempengaruhi kami. Justru kami membuat telor-telor itu
menjadi makin indah dan bersih sehingga nilainya meningkat.
Namun, membersihkan kotoran di hati manusia, terutama yang suka berkata kotor dan berbuat kotor, tentu saja tak semudah menghilangkan kotoran ayam. Mungkin rasa jijik dan mual tetap ada. Namun, sekalipun rasanya seperti memegang telor yang belepotan tahi ayam, aku pun belajar untuk tidak menjauhi mereka lagi. Sebenarnya mereka tuh serapuh telor ayam.
Jika saat itu kami bisa memegang telor ayam
yang belepotan tahi tanpa menghancurkannya, mengapa kami tidak bisa
melakukannya terhadap sesama manusia? Bukankah manusia lebih bernilai
daripada telor ayam tersebut? Jika kita tidak memperlakukan mereka dengan
hati-hati karena jijik, hati mereka bisa pecah dan tidak tertolong lagi. Jadi,
dimanapun kita ditempatkan, seharusnya kita tetap bisa memilih untuk tidak
dipengaruhi oleh kotoran dan justru bisa membersihkannya.
Belajarlah menjadi tabib atau dokter yang
handal bagi anak-anak kegelapan. Untuk membersihkan
telor dari kotoran ayam, kami menggunakan air mengalir dan spon cuci. Untuk
membersihkan hati, kita bisa menggunakan air kehidupan yang senantiasa mengalir
di dalam hati kita, yaitu dengan rutin membaca dan berusaha mempraktekkan
firman Tuhan tersebut. Inilah yang akan menjaga kita agar tidak ikut
terkontaminasi oleh kotoran dalam bentuk apapun, baik cair, padat, maupun gas.
Mazmur 119:11-12
(TB) Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap
Engkau. Terpujilah Engkau, ya TUHAN; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu
kepadaku.
BEJANA-MU
Hanya kepada-Mu kubawa
seluruh kehidupanku sebagai persembahan yang hidup dan yang berkenan
kepada-Mu. Kar'na kasih-Mu Kau memilihku. Kini ku datang kepada-Mu
penuhi panggilan-Mu.
Reff: Ini aku bejana-Mu. Bentuklah sesuai kehendak-Mu 'tuk genapi
firman-Mu. Oh Yesusku jadikanku alat yang indah di mata-Mu, bejana yang sempurna
seperti-Mu.
0 komentar:
Post a Comment