Sunday, April 25, 2021

Komunitas yang Sehat

Komunitas Sehat
Catatan Ibadah Online Minggu 25 April 2021

Kisah Para Rasul 2:46-47 Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.

Ayat itu memang menggambarkan komunitas yang sehat tetapi titik beratnya bukan sekedar berkumpul dan memecahkan roti. Titik beratnya pada kata 'dengan bertekun dan dengan sehati, dengan gembira dan dengan tulus hati.' Kegembiraan dan ketulusan hati itulah yang akan memancar keluar sehingga menarik banyak orang untuk mengikuti mereka. Dengan kata lain, mereka disukai semua orang karena hatinya memancarkan kehidupan.

Namun, tidak semua komunitas dibangun dengan cara begitu. Jika kita cukup peka dengan perasaan orang lain, dengan mengamati raut wajah anggota komunitas, kita akan mengetahui hal tersebut.

Dulu ada hamba Tuhan yang begitu luar biasa hebat dan ternama. Lalu dia tampak berhasil memuridkan seseorang untuk menjadi hamba Tuhan seperti dirinya. Sekalipun muridnya ini terlihat hebat di setiap KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani), tetapi aura wajahnya berbeda. Tak lama berselang beredarlah kabar bahwa muridnya berselingkuh dengan worship leader gereja itu. Padahal, dia tidak sekedar dikelilingi oleh para hamba Tuhan. Bahkan, suaminya pun seorang hamba Tuhan. Mengapa hal ini bisa terjadi padahal muridnya berada di komunitas yang sehat?

Kemudian ada orang yang rajin ikut CG dan pelayanan. Tak cukup 2 jempol, sopirnya pun mengacungkan 4 jempol kepadanya karena pernah mengantarnya pergi melayani anak yatim hingga ke luar kota. Namun, perilakunya terhadap si sopir dan pembantu cenderung tidak baik sehingga sopir itu bertanya: "Di gereja memang diajar seperti itukah?" Tentu saja tidak. Kalau gereja atau CG mengetahui hal itu, dia pasti ditegur. Lalu mengapa dia bisa bersikap seperti itu sekalipun tertanam di komunitas yang sehat?

Di tempat lain ada pula yang rajin melayani di komunitas gereja, tetapi malah menjadi batu sandungan bagi keluarganya karena dia hanya peduli dengan komunitas gereja dan mengabaikan keluarga besarnya. Mengapa orang yang tertanam di dalam komunitas sehat bisa seperti ini?

Sewaktu kecil aku pun ditanam di komunitas yang sehat, yakni asrama Katolik. Di sini tiap hari berkumpul untuk berdoa bersama pagi, siang, malam, dan dalam seminggu bisa ke kapel atau gereja kecil sebanyak 2 kali. Pembacaan firman pun rutin dilakukan. Apa komunitas sehat ini membuat semua anak bertumbuh dan berbuah lebat? Nyatanya tidak demikian.

Ketika masih kecil, kami berusaha taat karena takut dihukum oleh suster, guru, atau senior. Namun, ketika kami semakin bertumbuh besar dan menjadi senior, beberapa di antara kami mulai berani melanggar peraturan, termasuk aku. Ini semua kami lakukan karena kami telah tertekan begitu lama. Kami seringkali terpaksa taat sekalipun tidak mengerti karena kami takut.

Misalnya: Mengapa kami harus tidur sekalipun kami tidak mengantuk? Alhasil, kami terpaksa taat dengan berpura-pura tidur selagi ada yang jaga. Lalu mengapa kami tidak boleh jajan di luar padahal anak-anak di luar asrama bisa bebas beli jajan di luar? Kami tidak bisa mempertanyakan apapun. Pokoknya taat saja tetapi ketaatan yang dipaksakan tidak akan bertahan lama.

Sekalipun di mata suster aku tetap terlihat sebagai anak yang taat dan jujur, di belakangnya aku pun melanggar peraturan, seperti bermain saat jam tidur malam, beli pentol di luar asrama sambil bersembunyi di bilik telepon umum ketika nyaris ketahuan, jalan-jalan di luar asrama bersama anak luar asrama, dan puncaknya terlibat perkelahian dengan teman sekelas.

Jadi, mengapa seseorang bisa bersikap munafik di dalam suatu komunitas yang sehat? Tidak lain dan tidak bukan hal itu disebabkan oleh rasa takut. Mereka takut ditegur atau diceramahi. Mereka takut dihakimi atau dinilai buruk. Mereka takut dibilang tidak taat. Mereka juga takut dibilang egois atau dicap tidak peduli dengan komunitas itu.

Maka, suka tidak suka mereka berusaha taat untuk menyenangkan orang lain atau agar diterima baik di komunitas itu. Mereka menyimpan dengan rapi semua tekanan di hatinya lalu meledakkan semua itu di luar komunitas tersebut. Bahkan, beberapa dari mereka pun mencari pelarian pada hal-hal negatif di luar komunitas itu demi melegakan hidupnya.

Ada seorang anak yang dikenal taat oleh ortunya. Sekalipun dia suka teknik, dia terpaksa menuruti keinginan ortunya untuk menjadi akuntan. Hal ini membuat ortunya semakin yakin bahwa anak itu baik dan penurut. Namun, anak itu tertekan sehingga diam-diam dia merokok dengan harapan beroleh kelepasan dari beban hidup. Fiuh... Apa yang salah dengan komunitas sehat?

Lalu mengapa Gereja selalu mengarahkan jemaatnya untuk melayani di gereja padahal pelayanan itu tidak hanya di gereja? Hanya karena kita memiliki kesaksian firman, bukan berarti kita dipanggil untuk melayani di gereja. Biasanya seorang pebisnis sukses mengharapkan anaknya menjadi pebisnis sukses seperti dirinya. Maka, tidaklah mengherankan jika seorang pekerja gereja yang sukses juga mengharapkan semuanya aktif melayani di gereja.

Namun, benarkah Tuhan menghendaki kita semua melayani di gereja? Beberapa saat lalu ketika aku mempertanyakan hal itu, tiba-tiba video khotbah ini nongol di depan mataku: Finding Your Calling. Nah, video ini akan membantu kita menemukan panggilan kita sendiri. Komunitas yang sehat belum tentu membantu kita bertumbuh dan berbuah lebat jika komunitas itu tidak sesuai dengan panggilan kita.

Jika tidak sesuai dengan panggilan kita, alih-alih berkomunitas dengan gembira dan tulus hati, kita akan menjadi manusia munafik nan ciamik. Bahkan, jika terus memaksakan diri tertanam di dalamnya, lama kelamaan kita bisa meledak di luar komunitas itu hingga menjadi batu sandungan dan mengalami kematian rohani. Mungkin ini bisa diumpamakan seperti pohon korma yang tidak akan bisa bertumbuh dan berbuah lebat di tanah yang subur. Lain biji, lain pula tanahnya. Lain orang, lain pula pendekatannya.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.