Setiap tahun kita
bertambah tua karena umur kita bertambah. Namun, tua belum tentu dewasa.
Kedewasaan kita tidak ditentukan oleh banyaknya lilin yang ditiup tiap
tahunnya. Kedewasaan ditentukan dari pengalaman hidup yang dialami. Setiap
pengalaman up and down (naik dan
turun) inilah yang membuat seseorang menjadi dewasa. Kedewasaan berkaitan
dengan pemurnian. Menurut kamus Oxford, pemurnian
adalah proses untuk membuat segala sesuatu menjadi murni dengan menghilangkan
isi pokok / substansi / hakekat yang kotor, membahayakan, dan tidak diinginkan.
Jadi, pemurnian berkaitan
dengan proses dan bukan hasil. Agar murni, emas harus dilebur dulu. Berlian
juga harus diasah. Hasilnya berlian itu tampak indah, tetapi diasah itu
menyakitkan. Dupa pun harus dibakar terlebih dahulu agar bisa mengeluarkan
keharuman. Pemurnian memang menyakitkan, tetapi ini diperlukan untuk membuat
kita naik kelas. Kita harus menikmati prosesnya dan hasil akan mengikuti dengan
sendirinya.
Agar bisa terus naik dan
tidak turun, menjadi kepala dan bukan ekor, kita harus mau dimurnikan dan
berhenti protes. Lewat pemurnian kita akan mengalami pertumbuhan ke atas. Kita
harus bisa naik kelas agar tidak perlu mengikuti her (ujian perbaikan) lagi. Pemurnian
bisa membuat kita better (lebih baik)
atau bitter (lebih pahit). Semua
ini bergantung pada pengelolaan hati kita.
Bu Gina pun harus mengalami
pemurnian. Tahun lalu terjadi perpecahan di dalam keluarga intinya, bukan
dengan pasangan, tetapi dengan saudara. Karena sesama hamba Tuhan, tentu saja dinilai
lebih oleh banyak orang. Meskipun demikian, penyertaan Tuhan sungguh sempurna. Dia
mendapatkan anugerah. Ketika mau berbicara kepadanya, Tuhan bisa melakukannya
lewat mimpi, tetapi tidak sering.
Kali ini dia bermimpi melihat
dirinya di belakang kemudi dengan posisi gigi netral, tetapi dia tidak langsung
memahami mimpinya. Lalu dia bermimpi lagi. Dia melihat suaminya di balik kemudi
dengan posisi gigi netral pula. Namun, dia masih belum memahaminya sehingga dia
mendapatkan mimpi lagi. Kali ini dia bermimpi melihat sopirnya yang duduk di
belakang kemudi dengan posisi gigi netral. Netral, bukan ngegas atau parkir. Tuhan meminta dia netral sehingga tidak perlu ngegas atau marah. Biar Tuhan saja yang
berperang.
Tadi di ibadah kesatu
telah dibahas tentang pengelolaan hati dan mulut. Hati dan mulut saling
berkaitan karena yang terucap dari mulut seringkali berasal dari hati. Orang
yang baik tidak mungkin mengucapkan hal yang jahat. Orang yang jahat juga tidak
mungkin mengucapkan hal yang baik. Jadi, tidak seharusnya mulut yang dipakai
untuk memuji Tuhan juga digunakan untuk mengutuk orang.
Lukas 6:45 Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya."
Daud meminta Tuhan
menjaga pintu bibirnya. Pintunya perlu dijaga karena di dalamnya ada lidah yang
tak bertulang. Maksudnya: kita harus berhati-hati dengan ucapan kita karena
perkataan yang telah terucap tidak bisa ditarik kembali.
Mazmur 141:3 Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!
Ketika kita merasa
tertekan dan tidak kuat dengan pemurnian yang kita alami, mungkin hati kita
terasa hancur berkeping-keping. Lantas kita merasa lebih baik menceritakan satu
kepingnya kepada A dan keping berikutnya diceritakan kepada B. Hasilnya cerita
berkembang menjadi B kuadrat. Daripada cerita kepada manusia seperti orang
bebal, lebih baik kita cerita kepada Tuhan.
Amsal 18:2 Orang bebal tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya.
Orang bebal suka
membeberkan isi hatinya. Ini disebut ember. Sementara itu, orang yang bercerita
kepada Tuhan, sebutannya curhat. Ketika curhat kepada Tuhan, perasaan kita akan
lega.
Mazmur 62:9 Percayalah kepada-Nya
setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah
tempat perlindungan kita. Sela
Selain menjaga mulut,
kita harus menjaga jempol. Kita harus berhati-hati dengan postingan kita.
0 komentar:
Post a Comment