Catatan Ibadah ke-1
Minggu 14 Juli 2019
Daerah baru
tuh identik dengan orang-orang baru. Hal ini membutuhkan proses adaptasi lagi
karena karakter orang-orang di daerah baru bisa berbeda dari karakter
orang-orang yang sudah biasa kita temui. Sekalipun karakter dasar manusia ada
empat, yakni melankolis, flekmatis, koleris, dan sanguinis, faktanya tidak ada
orang yang 100% memiliki karakter dasar. Setiap orang selalu memiliki
campuran karakter dasar dengan komposisi berbeda-beda.
Perbedaan
karakter tersebut seringkali membuat hubungan menjadi rumit jika kita tidak
memahaminya dengan baik. Perbedaan karakter ini pun terlihat semakin jelas
ketika dua orang disatukan di bawah satu atap. Jika sama-sama ingin dimengerti
dan tak ada yang mau mengalah, angin topan pun datang menerpa senantiasa.
Nah,
biasanya kaum hawa selalu ingin dimengerti dengan lagunya 'Karna Wanita Ingin
Dimengerti'. Jadi, tanpa perlu bicara atau bicara dengan kode-kode tertentu,
wanita berharap pria mengerti. Sebaliknya, kaum adam mengatakan bahwa wanita
itu susah dimengerti dan ruwet seperti mie karena mereka tidak bisa memahami
bahasa kode wanita... wkwwkw...
Maka, untuk
menjembatani perbedaan karakter, kita perlu memahami bahasa kasih dengan slogan
'Jika ingin dipahami, pahami orang lain
dulu.'
Lukas 6:31 Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Namun,
memahami orang lain bukanlah perkara mudah, terutama jika harus memahami orang
yang baru ditemui. Ketika dalam perjalanan ke Bromo, ada pria yang bertanya: “Rumahnya dimana?” Lantas aku balik
bertanya: "Kalau bapak rumahnya
dimana?" Lalu dia langsung protes: "Kok kamu panggil saya bapak?" Ups... Dia
itu jelas-jelas terlihat sebagai laki-laki yang usianya mungkin sekitar usia
adik papaku, tetapi kok protes ya saat dipanggil bapak? Maka, teringatlah aku
akan kejadian beberapa waktu lalu di depan gerbang gereja.
Kala itu aku
disapa seorang wanita yang dari awal pembicaraan dia sudah berkata: "Cece ini sudah berumur 59 tahun. Kamu
umur berapa?" Setelah kusebutkan umurku, dia tetap berkata: "Nanti di gereja duduk sama cece
ya." (^ o ^) Wah, wanita ini hampir seusia mamaku, tetapi masih ingin
dipanggil cece. Mungkin karena dia belum menikah. Ini berarti
pria itu juga ingin dipanggil koko dan ternyata benar. Namun, temanku
mengatakan bahwa koko itu tidak jelas statusnya. Ketika ditanya perihal isteri
dan anaknya, dia malah merahasiakannya. Aneh.
Lantas
kutanya temanku: "Kalau ada pria
yang terlihat lebih muda darimu atau usianya tidak kamu ketahui, kamu panggil
apa? Masa langsung panggil koko atau titi? Di kantor ada lho pria yang
kupanggil bapak, tetapi dia tidak pernah protes padahal dia lebih muda
dariku. Seharusnya panggilan 'bapak' itu netral dan termasuk suatu panggilan
kehormatan donk."
Jawabnya: "Di kantor lain sich, tetapi biasanya
langsung kupanggil koko semua, sekalipun lebih muda." Sementara itu, dulu
ada pula yang protes ketika kupanggil koko karena dia mengetahui bahwa usianya
lebih muda dariku. Katanya: “Lho, aku
ini lebih muda darimu. Kok malah dipanggil koko? Seharusnya aku yang
memanggilmu cece.” Hehehe… sejak itu ya kupanggil namanya doank karena dia
juga tak mungkin mau kupanggil titi karena panggilan titi biasanya lebih cocok
dengan anak kecil. Selain itu, ada pula yang protes jika dipanggil cece karena
menyadari perbedaan usia yang jauh dan anak-anaknya sudah seusia denganku.
Ealah...
Lain ladang, lain belalang. Lain orang, lain kemauannya ya. Kalau baru pertama
kali bertemu, jadi nebak-nebak dulu dech maunya seperti apa. Kalau kita
tidak diprotes, berarti benar. Eits, belum tentu juga lho. Ada orang yang
tipenya memendam perasaan. Bibir berkata tak masalah, tetapi hati menggerutu
dan berharap orang lain paham sendiri tanpa dijelaskan. Ini nich yang susah.
Untuk menghadapi orang semacam ini, kita harus belajar membaca ekspresi wajah,
bahasa tubuh, dan dinamika kehidupannya.
0 komentar:
Post a Comment