Selepas doa fajar kami
berlima (aku, Amel, Fulda, Eli, dan mama Eli) pergi ke mini market. Setiba di sana Fulda, Eli dan mamanya membeli sesuatu
di sana. Sementara itu aku dan Amel duduk menunggu di belakang mini market. Tak lama berlalu kusadari
bahwa kursiku dikerubuti banyak semut hitam sehingga aku bergegas berdiri
meninggalkan kursiku dan berdiri di belakang Amel yang masih tetap duduk di
kursinya.
Tiba-tiba datanglah tiga
pemuda dan salah satu di antaranya mendekati kami sambil berkata: “Apa saya bisa wawancara untuk dokumentasi?”
Amel : “Tidak. Saya bukan jemaat...”
Pemuda: “Mawar Sharon?”
Amel : “Ya.”
Pemuda: “Tidak masalah.”
Amel : “Tidak. Itu yang jemaat Mawar Sharon.”
(sambil menunjuk ke arahku)
Pemuda: “Pertanyaannya hanya sudah berapa kali ikut
PUSH dan apa yang didapat dari PUSH?”
Amel : “Tidak. Tidak mau.”
Aku : “Tidak lha.” (sambil tersenyum dan buru-buru pergi meninggalkannya
karena tidak ada orang lain yang bisa kutunjuk)
Fiuh... ketika terdengar
kata wawancara, pikiran ini langsung kosong. Bagaimana bisa berbicara tanpa
berpikir? Apa yang kudapat? Aku ‘kan hanya menikmati hadirat Tuhan, menikmati sukacita
dan damai sejahtera yang melampaui segala akal dan belum mengetahui dapat apa
karena semua kata-kata pdt. Welyar Kauntu pun lupa...hahaha...
Mungkin karena semalam
kurang tidur juga. Tidur tak nyenyak karena mendengar suara dengkuran, suara
jangkrik, suara orang mandi, dan suara orang membuka dan menutup pintu kamar.
Hmmm... bila tidur di tempat asing, telinga ini jadi semakin peka dengan
bunyi-bunyian.
Alhasil, kuputuskan untuk
segera tidur begitu sampai rumah. Namun, ketika kepala menyentuh bantal, kata-kata
pak Welyar mulai bermunculan di benakku dan lagu ‘Manis Kau Dengar’ juga
terngiang-ngiang di hatiku. Oleh karena ini, sejam kemudian aku masih terjaga. Oala...
tampaknya aku harus menuangkan pikiranku dulu supaya bisa tidur...hahaha...
It’s ok. Daripada diwawancarai walau hanya sedetik, lebih baik diminta menulis walau
makan waktu beberapa jam. Kalau melihat mikrofon, kamera, dan alat perekam,
pikiran ini langsung kosong. Namun, ketika sesuatu ditulis, ingatan demi
ingatan mulai bermunculan hingga terangkai menjadi suatu artikel plus
plus...hehehe...
Pada akhirnya, tibalah
pada pertanyaan yang sama dengan pak Welyar: “Kok bisa ya saya nulis seperti itu?”
Pak Welyar menyadari
bahwa lagu-lagunya ditulis oleh Tuhan lalu ditanamkan di dalam pikirannya. Oleh
karena itu, pdt. Welyar Kauntu tidak keberatan bila lagu-lagunya digunakan oleh
setiap orang tanpa membayar. Dia tidak ingin musik ministry menjadi musik industry.
0 komentar:
Post a Comment