Family Worship
Catatan Ibadah ke-1 Minggu 11 Mei 2025
Suatu malam seorang wanita tampak berjalan
sendiri memasuki kediaman seorang pria kaya. Di halaman itu ada banyak orang
yang sedang berdiri dalam beberapa antrian panjang untuk mendapatkan
sejumlah uang dari pria kaya tersebut.
Wanita itu berpikir sejenak, "Jika aku
ikut antri, aku akan mendapatkan uang pula, tetapi TIDAK." Dia melihat
papa angkatnya melihat-lihat keramaian tersebut di teras depan. Lantas
wanita itu berjalan ke arahnya. Tak lama berselang wanita itu mempercepat
langkahnya karena papanya terlihat membalikkan badan dan mulai berjalan masuk
ke dalam rumahnya.
Wanita itu melihat ada salah satu pegawai
pria papanya yang melihat ke arahnya. Pegawai itu mulai berdiri dan tampaknya ingin
menghalanginya masuk. Jadi, setengah berlari wanita itu tiba di depan teras
rumah dan berteriak di depan pintu yang terbuka lebar, "Papa, Papa,
Papa."
Pria yang dipanggilnya itu menoleh ke
arahnya. Dengan sudut matanya wanita itu melihat di dalam rumah tersebut juga
ada banyak orang. Mereka semua ikut menoleh ke arahnya. Namun, perhatian
utamanya terfokus kepada papa angkatnya. Dalam hati dia bertanya,
"Mengapa aku memanggilnya Papa? Bukankah aku masih kesal terhadapnya?”
Seketika dia terbangun dari tidurnya.
"Mengapa aku memanggilnya Papa?" Apa wajah papa angkatku memang
seperti itu? Namun, papa angkatku hanya ada di atas kertas. Bahkan, sejak aku
menyadari keberadaanku sebagai manusia, aku belum pernah mengenal orang tua
angkatku itu.
Aku memberitahu memeku lalu dia bertanya,
"Apa kita bukan anak kandung?" Jawabku, "Tidak mungkin.
Merekalah yang membesarkan kita. Mungkin ini nama Indonesia mereka. Ayo kita
lihat akta kelahiranmu pula." Lalu secara diam-diam kami membuka lemari
arsip dan makin bingung. "Mengapa nama orang tua kita bertiga
berbeda-beda? Masa kita semua anak angkat dan bukan saudara kandung? Mungkin
ini sebabnya kita semua dimasukkan asrama."
"Bagaimana jika kita kabur dari asrama
dan mencari orang tua kandung kita?" Hahaha... ini hanyalah cerita percakapan
dalam sinetron. Namun, selama di asrama, suster dan guru asrama telah
memperkenalkan kami kepada Yesus dan selalu melarang kami menonton sinetron.
Kami hanya boleh menonton televisi seminggu
sekali (tiap Sabtu sore). Ini pun hanya beberapa jam dan filmnya hanya film
animasi atau kartun. Jadi, ketika melihat data yang di luar dugaan, kami
memutuskan untuk konfirmasi dulu dan tidak langsung mengambil tindakan gegagah.
Kemudian mama menjelaskan bahwa nama-nama orang tua di dalam akta kelahiran itu merupakan nama pinjaman agar kami bisa bersekolah. Saat kami memasuki usia sekolah, tidak ada sekolah yang mau menerima kami karena kami tidak punya kewarganegaraan. Untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI), tarifnya mahal sehingga papa tidak sanggup membayarnya.
Namun, jika pulang ke Cina, biayanya juga
mahal dan pasti kami juga tidak diterima oleh pemerintah Cina. Jadi, mereka
terpaksa outsource orang tua angkat bagi kami bertiga. Biayanya jauh
lebih murah karena hanya perlu membuat akta kelahiran.
Kebetulan kokonya papa memiliki beberapa
teman berhati mulia. Maka, tiga pasang orang tua bersedia meminjamkan nama
mereka secara sukarela kepada papa agar ketiga anak kandungnya mendapatkan hak
pendidikan sebagai WNI. Alhasil, mereka resmi menjadi orang tua di atas
kertas.
Hehehe... bukan hanya uang yang bisa
menyelesaikan masalah. Hubungan baik pun sanggup membuang masalah. Tiada
rotan, akar pun jadi. Tiada uang, saudara-saudara dan teman-teman pun beraksi...
xixixi...
Alhasil, aku dan kedua adikku memiliki dua akta kelahiran. Akta kelahiran pertama menggunakan nama orang tua angkat. Namun, setelah lulus SD, kami tidak lagi menggunakan akta kelahiran tersebut karena orang tua kandung kami sudah bisa menjadi WNI. Maka, adik bungsu kami yang lahir beberapa tahun kemudian juga bisa langsung menjadi WNI.
Untunglah saat itu kami lebih mempercayai cerita mama daripada isi akta kelahiran. Memang tindakan kasih orang tua akan selalu berbicara lebih keras daripada dokumen apapun. Karena cerita di balik akta kelahiran tersebut, aku tidak mudah percaya dengan isi dokumen legal. Maklumlah kadang kala dunia ini seperti dunia tipu-tipu.
DUNIA TIPU-TIPU
Di dunia tipu-tipu mamu
tempat aku bertumpu. Baik, jahat, abu-abu tapi warnamu putih untukku.
Hanya kamu yang mengerti gelombang kepala ini.
Puja-puji tanpa kata. Mata kita yang bicara. Selalu nyaman bersama. Janji
takkan kemana-mana.
Puja-puji tanpa kata. Mata kita yang bicara. Selalu nyaman bersama. Janji
takkan ke mana-mana, ya...
Di dunia tipu tipu kubisa rasa nyata denganmu, oh-hmm-mmm.
Tanpa banyak una-inu kubisa rasa aman selalu. Hanya kamu yang mengerti
gelombang kepala ini, ih-ih-ih
Puja-puji tanpa kata mata kita yang bicara. Selalu nyaman bersama. Janji
takkan kemana mana.
Puja-puji tanpa kata mata kita yang bicara. Selalu nyaman bersama. Janji
takkan kemana mana, ya...
Lelucon aneh tiap hari, kutertawa tanpa tapi.
Tetaplah seperti ini. Puja-puji tanpa kata. Mata kita yang bicara. Selalu
nyaman bersama. Janji takkan ke mana-mana.
Janji (janji) takkan (takkan) ke mana-mana. Janji (janji) takkan (takkan)
ke mana-mana. Janji (janji), janji (takkan) takkan ke mana-mana. Janji (janji),
janji (takkan) takkan ke mana-mana.
0 komentar:
Post a Comment