Repairing and Returning
Catatan Ibadah ke-1 Minggu 12 Maret 2023
Agar dapat mengendalikan emosi dengan
baik, kita harus:
1. Mengenali. Kita bisa mengenali
emosi kita dengan mempelajari tipe kepribadian kita. Ada yang senang belajar
sendirian. Ada pula yang senang belajar bersama-sama. Kita juga perlu mengenali
bahasa kasih kita. Ada yang bahasa kasihnya adalah hadiah. Ada juga yang bahasa
kasihnya adalah act of service. Jika kita tidak mengenali hal ini, kita
tidak bisa mengendalikan emosi kita.
Jika bu Gina marah, dia akan bertambah
marah jika dibelikan lipstik baru. Dia akan berkata, "Tidak usah menyuap
saya." Ini karena emosinya tidak ditentukan oleh hadiah. Dia lebih suka
jika orang berkata-kata kepadanya untuk meredakan amarahnya.
Ketika kita bicara kepada seseorang dan dia
menghela napas berulang kali, kita berpikir bahwa dia malas berbicara dengan
kita. Ini adalah persepsi kita. Orang yang bernapas dengan cepat biasanya
sedang merasa takut atau marah. Tidak ada orang yang takut atau marah sambil
bernapas panjang. Kita perlu mengenali hal-hal semacam ini.
2. Menerima. Setelah mengenali emosi
kita, selanjutnya kita harus menerimanya. Ini sama dengan menerima diri
sendiri. Di tahap ini kita tidak perlu peduli dengan omongan orang. Kita hanya
perlu mendengarkan omongan Tuhan.
Mazmur 56:9
(TB) Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke
dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?
Orang yang menangis bukanlah orang yang lemah. Orang bisa menangis karena dia sudah terlalu lama bersikap kuat. Namun, orang yang bahagia juga bisa menangis. Orang yang takut juga menangis.
Meskipun begitu, kita percaya bahwa penyertaan
Tuhan ditambah pergumulan hidup akan menghasilkan kesaksian yang indah.
Tuhan selalu menampung setiap air mata kita di dalam kirbat-Nya dan Dia
mengubahnya menjadi mata air jika kita tetap setia kepada-Nya.
Kita harus tetap bersyukur. Tanpa pergumulan hidup, bagaimana kita bisa merasakan kelimpahan
kasih karunia Tuhan? Ketika masih berdosa, kita sudah dikasihi oleh-Nya lewat
penebusan di kayu salib. Nah, jika sudah diselamatkan, tentulah kita juga makin
dikasihi-Nya.
Maka, setelah melewati semua pergumulan
hidup, kita bisa menceritakannya kembali dengan emosi yang berbeda. Pada
akhirnya, kita tidak lagi memandang emosi sebagai positif dan negatif. Namun,
kita memandangnya sebagai perasaan nyaman dan tidak nyaman.
Ketika Tuhan memulihkan kehidupan Ayub, dia
tidak sekadar dikembalikan ke posisi semula. Namun, dia dikembalikan ke dalam
posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Begitu pula jika kepingan hati kita
dipulihkan.
Di Jepang ada seni kintsugi yang mengubah berbagai barang pecah menjadi barang bernilai. Piring yang pecah
dibuatnya menjadi lebih mahal daripada sebelum pecah. Kita adalah bejana tanah
liat dan Tuhan adalah pembentuknya. Jika hati seseorang pernah pecah berkeping-keping lalu dipulihkan oleh
kasih Tuhan, orang tersebut juga akan menjadi lebih bernilai daripada
sebelumnya.
SERUPA DENGAN-MU
Verse 1: Hanya Kau
penjunanku. Hidupku di tangan-Mu. Kau Tuhan sanggup pulihkan, Ubahkan hati yang
hancur.
Bridge 1: Ooo.. Oo aku milik-Mu selamanya.
Chorus: Bentuk hidupku Jadikan seperti-Mu, Serupa dengan-Mu. Sampai
s'lamanya kumau bersinar s'lalu B’ritakan karya-Mu.
Bridge 2: S’bab Kau Tuhan jalan kehidupan, Masa depan cerah membentang.
0 komentar:
Post a Comment