Catatan
Ibadah ke-1 Minggu 15 Sept 2019
Beberapa waktu lalu kutonton video yang menyatakan bahwa pria itu lemah.
Jika isterinya meninggal, banyak dari mereka akan menikah lagi. Sebaliknya,
banyak wanita tidak menikah lagi jika suaminya meninggal. Namun, tidak banyak
bukan berarti tidak ada.
RATAPAN
ANAK TIRI
Betapa malang nasibku semenjak ditinggal ibu. Walau kini dapat ganti seorang ibu... ibu tiri, tiada sama rasanya. Ibu kandung yang tercinta menyayang sepenuh jiwa, penuh kasih lagi mesra. Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja.
Selagi ayah disampingku ku dipuja, ku dimanja. Tapi bila ayah pergi, ku dinista dan dicaci bagai anak tak berbakti, tiada menghirauku lagi. Aduhai ibu tiriku, kasihanilah padaku bagai anakmu sendiri agar dapat ku berbakti.
Betapa malang nasibku semenjak ditinggal ibu. Walau kini dapat ganti seorang ibu... ibu tiri, tiada sama rasanya. Ibu kandung yang tercinta menyayang sepenuh jiwa, penuh kasih lagi mesra. Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja.
Selagi ayah disampingku ku dipuja, ku dimanja. Tapi bila ayah pergi, ku dinista dan dicaci bagai anak tak berbakti, tiada menghirauku lagi. Aduhai ibu tiriku, kasihanilah padaku bagai anakmu sendiri agar dapat ku berbakti.
Semasa kecil dulu aku sering mendengar nyanyian ratapan anak tiri
tersebut. Mungkin lagu itu ditulis karena kala itu ada fenomena anak tiri yang
disakiti oleh ibu tirinya. Memang tidak semua ibu tiri dan ayah tiri itu jahat.
Namun, akhir-akhir ini media juga menceritakan kejahatan ayah tiri kepada
anaknya. Bahkan, ada anak yang sampai menghembuskan nafas terakhir karena
perlakuan keji ayah tirinya.
Oh, mengapa Tuhan menitipkan anak kepada ortu semacam itu? Jika
ketulusan bisa dirasakan, mengapa ada orang yang tertipu oleh kemunafikan
pasangannya? Andai saja setiap orang yang mau menikah diwajibkan kursus
membangun keluarga dulu sebelum menikah, mungkin hal seperti itu tak perlu
terjadi.
Matius 22:30 Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.
Hmm... suatu hari nanti setiap orang hidup seperti malaikat. Mereka tidak
kawin dan tidak dikawinkan. Namun, mengapa manusia merasa harus menikah jika
ingin merasakan surga? Sebenarnya mereka ingin masuk surga yang kekal atau
surga dunia doank ya? Alhasil, banyak dari mereka menikah karena diharuskan
menikah oleh masyarakat padahal masyarakat juga tidak memperlengkapi mereka
dengan mindset (pola pikir) yang
benar.
Sekalipun sudah menjadi ortu, mereka masih bermental anak yang masih
ingin dilayani. Maka, beberapa anak pun terabaikan hingga tidak bisa menjadi
pribadi yang utuh. Ada seorang pria yang menghina temannya. Karena tidak terima,
temannya memberitahu mama pria itu. Pria itu ditegur dan dimarahi: "Kamu ini tidak turut membesarkan dia,
apa hakmu menghinanya?"
Nah, dari sini si anak belajar menjadi ortu yang merasa berhak menghina anak
yang telah dibesarkannya. Selanjutnya, anak ini juga bertumbuh menjadi seorang
pengusaha yang merasa berhak menghina karyawannya karena dia telah menggaji
mereka. Fiuh... emang setiap masalah bersumber dari rumah.
Amsal 3:33 Kutuk TUHAN ada di dalam rumah orang fasik, tetapi tempat kediaman orang benar diberkati-Nya.
S'BAB KASIH
SETIA-MU
Ya Allah, Engkau kerinduanku. S'lalu kucari wajah-Mu Tuhan. S'perti tanah yang kering rindukan air, demikianlah jiwaku rindu Engkau.
Kumemandang-Mu di tempat kudus dan kumelihat kemuliaan-Mu. Ku berdiam di bawah naungan sayap-Mu dan kudapati kekuatan baru.
Reff: S'bab kasih setia-Mu lebih dari hidup. Kebaikan-Mu melimpah atasku. Jiwaku melekat kepada-Mu Tuhan. Betapaku merindukan-Mu.
Ya Allah, Engkau kerinduanku. S'lalu kucari wajah-Mu Tuhan. S'perti tanah yang kering rindukan air, demikianlah jiwaku rindu Engkau.
Kumemandang-Mu di tempat kudus dan kumelihat kemuliaan-Mu. Ku berdiam di bawah naungan sayap-Mu dan kudapati kekuatan baru.
Reff: S'bab kasih setia-Mu lebih dari hidup. Kebaikan-Mu melimpah atasku. Jiwaku melekat kepada-Mu Tuhan. Betapaku merindukan-Mu.
0 komentar:
Post a Comment