Catatan
Ibadah ke-1 Minggu 15 Sept 2019
"Ketulusan bisa
dirasakan". Sepertinya tadi pak Arman mengucapkan kata-kata
tersebut, tetapi diucapkan pada bagian yang mana ya? Duh, aku tidak ingat dan
hanya mengingat detail mimpiku dengan jelas.
Ada sebuah rumah sederhana di dalam sebuah mall. Rumah ini disinggahi
oleh seorang tamu wanita. Ketika pagi tiba, aku pun bersiap meninggalkan rumah
untuk ke gereja. Namun, tiba-tiba aku mendapat titipan seorang balita
laki-laki. Anak itu tidak mau dituntun dan tiba-tiba lari hingga terjerembab di
ujung tangga.
Deg... hati ini seperti mau copot rasanya. Buru-buru kudatangi dia dan
mengangkatnya sebelum dia jatuh terguling-guling ke lantai bawah dari lantai 3.
Lalu kuserahkan dia kepada emaknya sambil marah-marah. "Begini
nich kalau ortunya tidak mau menjaga anaknya sendiri dan selalu menitipkan
anak. Anak ini hampir saja jatuh terguling-guling di tangga. Sekarang aku pun
terlambat ke gereja karena harus menjaganya. Jadi, serahkan kembali anak ini
kepada ortunya yang asyik makan-makan itu. Aku akan ke gereja nanti."
Wew, aku harus balik lagi ke rumah karena sepatu ketinggalan.
Nah, setelah semua kembali ke tempatnya, aku pun berjalan menyusuri suatu jalanan. Di kiri jalan terlihat seorang anak laki-laki duduk di atas dinding dekat pagar sebuah rumah untuk mengemis. Tak jauh darinya ada seorang bapak berdiri di belakangnya. Lalu terlihat seorang pria menegur dan menasehati anak itu agar jangan mengemis.
Bapak yang berdiri di belakang si anak segera ikut menegur anak itu: "Bapak sudah bilang agar kamu tidak
mengemis. Mengapa kamu tidak mendengarkan omongan bapak?" Pria
yang menegur si anak segera berpaling kepada bapak itu seraya berkata: "Jangan berpura-pura tidak tahu. Sudah
jelas kamu sendiri yang menyuruhnya mengemis." Lantas mereka ribut dan
aku berlalu begitu saja.
Beberapa waktu kemudian tak jauh dari jalan tersebut kutemukan seorang
anak laki-laki terperosok dalam sebuah lubang yang ada di dekat pagar pembatas
sungai. Aku pun mengangkatnya dan amat terkejut melihat wajahnya yang dibungkus
rapat oleh plastik kedap udara. Buru-buru kulepas plastik pembungkusnya sebelum
dia kehabisan nafas. Lalu aku bertanya: "Kamu
baik-baik saja?" Dia hanya menjawab: "Aku ini bodoh... aku bodoh..."
"Tidak",
kataku memotong perkataannya, "kamu
tidak bodoh." Tiba-tiba amarah membakar hatiku karena mengenali
anak tersebut. Anak inilah yang sebelumnya telah kulihat duduk di atas dinding.
Seketika kuingat postur bapaknya yang besar dan dulunya mengenakan kaos putih. Argh...
rasanya aku amat sangat kesal kepadanya hingga aku pun terbangun dari mimpi.
Maka, kusadari bahwa semua hanya mimpi. Namun, aku harus bergegas jika
tak ingin terlambat ke gereja seperti dalam mimpi itu.
0 komentar:
Post a Comment