Catatan
Ibadah ke-1 Minggu 22 Sept 2019
Ketika tadi kudengar ilustrasi tentang petani yang menikmati hidup dengan
ngopi dan merokok, sebenarnya ingin kusensor, tetapi tidak jadi karena aku
teringat sesuatu yang menjengkelkan akhir-akhir ini. Ini soal bau asap: asap
besar dan asap kecil.
Beberapa saat lalu tersiar berita perihal kebakaran hutan di pulau S,
tetapi beberapa warga menyalahkan J yang berada di pulau J. Ketika tidak
bisa memberi solusi, seringkali jalan tercepat yang dipilih kebanyakan orang
adalah menyalahkan dan menuntut orang lain. Sementara itu beberapa warga
lain justru tergerak untuk menggalang dana bagi para korban di pulau S yang
merasa sesak nafas karena asap besar itu.
Sebelumnya ada lagi berita tentang rencana kenaikan tarif BPJS. Banyak
warga, terutama kelas menengah bawah keberatan dengan kebijakan ini. Lantas
beberapa warga sibuk mengeluh dan menebarkan komplain di sana-sini. Sementara
itu beberapa warga sibuk mengkampanyekan pentingnya menjaga kesehatan dengan
konsumsi suplemen makanan atau anti oksidan.
Andai bisa memilih, tentu saja aku akan lebih memilih agar cukai rokok
yang dinaikkan dua kali lipat daripada tarif BPJS yang dinaikkan dua kali
lipat. Dulu tetanggaku meninggal karena rokok dan aku pun sering merasa sesak
nafas karena bau asap rokok yang menusuk hidung. Parahnya lagi penjual rokok
susah dihalangi karena labanya yang menggiurkan mereka. Jadi, beberapa orang
merasa berhak menikmati hidup dengan merampas hak orang lain untuk menikmati
oksigen secara bebas. Punya banyak uang untuk apa kalau kenikmatan hidupnya
didapat dengan mengurangi kenikmatan hidup orang lain?
Sesak nafas yang dialami warga pulau S sebenarnya juga bisa dialami oleh
setiap warga di pulau-pulau lain. Bau asap bukan hanya terjadi karena kebakaran
hutan. Bau ini juga bisa terjadi karena ada batangan rokok yang dibakar
seenaknya di tempat umum. Bahkan, sekalipun apinya telah dipadamkan, bekas asapnya bisa tetap menempel di pakaian atau kulit penggunanya. Bau asap kecil
ini juga sangat menyengat, menyesakkan saluran pernafasan, meningkatkan tekanan
darah alias bikin emosi, dan tentunya dapat menyebabkan muka boros karena bad mood.
Lalu bagaimana cara menghentikannya? Kebijakan belum tentu bisa diubah.
Mengeluh pun tak akan bisa mengubah keadaan. Jadi, mari kita doakan saja agar
hati para pendidik tergerak untuk meyakinkan generasi muda bahwa mencegah
penyakit lebih baik daripada mengobati. Daripada membakar uang untuk membeli
racun, lebih baik memperbanyak anti oksidan alami untuk menangkal racun.
Sekalipun para tetua dan para sesepuh mengeruk keuntungan dari rokok,
generasi muda harus bisa banting setir ke arah berbeda. Jadi, mari kita dukung
para pedagang produk-produk kesehatan untuk melakukan perang dagang karena produk-produk
yang kalah pasti akan tersingkir dengan sendirinya. Karena iblis sudah dikalahkan oleh Yesus, seharusnya senjata iblis pun bisa disingkirkan.
HATIKU SIAP
Hatiku siap ya Allah. Kumau bernyanyi, bermazmur bagi-Mu, kumau bersyukur kepada-Mu di antara segala suku-suku bangsa.
S'bab kasih setia-Mu besar sampai ke langit, kebenaran-Mu sampai ke awan-awan. Tinggikanlah diri-Mu mengatasi langit ya Tuhan. Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh bumi.
Hatiku siap ya Allah. Kumau bernyanyi, bermazmur bagi-Mu, kumau bersyukur kepada-Mu di antara segala suku-suku bangsa.
S'bab kasih setia-Mu besar sampai ke langit, kebenaran-Mu sampai ke awan-awan. Tinggikanlah diri-Mu mengatasi langit ya Tuhan. Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh bumi.
0 komentar:
Post a Comment