Mengapa dia tak pernah merasa bersalah? Dia yang memulai keributan dengan mengungkit masalah
kemarin tetapi dia malah berpikir bahwa keributan baru terjadi pada saat
penelepon kedua menjawab dengan emosi. Kalau dia mau menyelesaikannya sendiri,
untuk apa kemarin aku diminta menyelesaikan masalah itu? Mengungkit masalah
yang sudah selesai sama saja dengan menyulut api emosi. Wew... kapan
sadarnya sich?
Mengapa selalu kami semua yang salah? Mengapa dia ingin dipercaya jika perkataan dan
tindakannya selalu menyatakan hal sebaliknya? Penelepon kedua pernah mengatakan
bahwa dia tidak mau berbicara dengan penelepon pertama karena penelepon pertama
juga tidak mau berbicara kepadanya. Ketika kusampaikan hal tersebut, penelepon
pertama langsung menyangkalnya dan ingin aku mempercayainya. Hellow... dia
pasti lupa bahwa dulu dia sudah beberapa kali berkata kepadaku:
* "Hubungi penelepon kedua dan tanyakan ini dan itu. Jangan katakan
kepadanya bahwa aku yang memintamu."
* "Coba tanyakan ini kepada penelepon kedua karena aku malas
berbicara dengannya."
* "Tolong sampaikan hal ini kepada penelepon kedua."
Hmmm... kala itu aku tidak
menceritakan apapun kepada penelepon kedua karena aku tidak ingin mereka ribut.
Namun, sekalipun aku diam, rupanya
penelepon kedua sadar dengan sendirinya. Ketika terjadi masalah beberapa
waktu lalu, tiba-tiba penelepon kedua bercerita bahwa penelepon pertama selalu
menelepon teman-temannya untuk menanyakan berbagai hal dan dia tak pernah
berbicara kepadanya. Saat itu aku pun tetap bungkam padahal aku bisa saja
memberitahunya bahwa hal itu benar karena aku pun telah beberapa kali diminta
menanyakan atau menyampaikan sesuatu kepadanya acapkali dia sedang malas
berbicara dengan penelepon kedua. Jadi, bagaimana caraku mempercayai penelepon
pertama??!?!?
Amsal 10:19-20 Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi. Lidah orang benar seperti perak pilihan, tetapi pikiran orang fasik sedikit nilainya.
Ayat tersebut sesuai dengan
peribahasa dari Irlandia: “Everyone is
wise until he speaks”. Namun, sebagai orang Indonesia kita lebih mengenal
peribahasa ‘tong kosong nyaring bunyinya’ dan ‘air beriak tanda tak dalam’.
Selain itu, ada pepatah Jawa mengatakan 'esuk dele sore tempe' (pagi kedelai
sore tempe) alias mencla-mencle alias tidak konsisten. Kamis dia bilang A
tetapi Jumat bilang B. Dulu bilang C tetapi hari ini bilang E alias pandai
bersilat kata sesuai situasi dan kondisi sehingga dia selalu terlihat sempurna
dan orang lain lha yang selalu saja salah.
Oke... anggap saja dia memang pelupa. Jika dia melakukan hal itu karena memang benar-benar
lupa, mau tak mau semua orang di sekelilingnya tentu saja harus bisa berlapang
dada. Dengan kata lain: "Yang waras
(sehat) yang harus mengalah." Namun, jika dia melakukannya untuk
menjilat sekelompok orang tertentu, tunggu saja pembalasan Tuhan. Setiap
perkataannya akan menikam dadanya sendiri alias senjata makan tuan karena para
korbannya pasti sulit mempercayainya lagi.
Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan. (Amsal 12:18) tetapi pedang mereka akan menikam dada mereka sendiri, dan busur mereka akan dipatahkan. (Mazmur 37:15)
Jadi, alangkah baiknya jika penelepon
pertama selalu merekam semua perkataannya dan mendengarkannya sendiri sebelum
dia mempersalahkan orang lain. Jika dia tidak mau merekamnya, alangkah baiknya
jika dia tidak mudah mengomel. Ah, sudahlah... daripada kesal lebih baik aku
berbahasa Roh untuk mengusir segala emosi negatif yang mulai mencemariku. _._
Nah, berikut ini ada sebuah
lagu untuk para korban penelepon pertama, termasuk aku. Jumat malam secara tak
sengaja kudengar lagu ini di televisi padahal sebelumnya aku hanya pernah
mendengarnya di kantor. Lantas aku teringat dengan seorang bapak yang telah
beberapa kali menjadi korban omelannya dan tiap akhir bulan bapak itu diajak
ribut olehnya. Dulu bapak itu sering memutar lagu ini hingga banyak orang,
termasuk aku amat sangat bosan mendengarnya dan minta dia berhenti memutarnya.
Namun, bapak itu benar. Kami harus bisa berlapang dada karena
kami tak pandai bicara dan tak suka ribut. Kami
pun harus bisa mengambil hikmahnya, yaitu untuk melatih kesabaran kami.
Jadi, biarlah penelepon pertama menjadi amplas untuk menggosok emosi kami
hingga akhirnya kami semakin mengkilap alias semakin sabar dan amplas itu
sendiri akan habis tak berguna alias semakin suka mengomel hingga kehilangan
respek dari orang-orang di sekitarnya.
Oh, terima kasih untuk nyamuk
nakal yang pagi ini membangunkan tidurku... wkwwkw... Terima kasih pula untuk
penelepon pertama yang selalu berusaha mengamplas atau menghaluskan emosiku.
Tak lupa kubersyukur pula atas kehadiran Roh Kudus yang selalu menghibur dan
menguatkanku sehingga aku masih bisa mengendalikan emosiku. ^_^
LAPANG DADA
Apa yang salah dengan lagu ini kenapa
kembali ku mengingatmu seperti aku bisa merasakan getaran jantung dan langkah
kakimu? Kemana ini akan membawaku?
Reff: Kau harus bisa bisa berlapang dada. Kau harus bisa
bisa ambil hikmahnya karena semua semua tak lagi sama walau kau tahu dia pun
merasakannya.
Aaa... Aaa...
Di jalan yang setapak kecil ini seperti ku
mendengar kau bernyanyi. Kau tahu kau tahu rasaku juga rasamu. Uuu... uuu...
huu... (Back to Reff) Aaa... Aaa...
Kemana ini akan membawaku, aku tak 'kan
pernah tahu. (Back to Reff)
Nana nana na na nana nana Nana nana na na
nana nana Nana nana na na nana nana Nana nana na na nana nana
0 komentar:
Post a Comment