Catatan Ibadah ke-1 Minggu 25 September 2016
Ketika masih SMP, suatu hari aku
diminta mama untuk membeli kolang-kaling di pasar. Tak lupa mama berpesan
kepadaku: "ditawar lho ya..." Kemudian aku pun ke pasar dan
mendatangi pedagang kolang-kaling.
Aku: "pak, kolang-kaling dua kilo berapa?"
Pedagang: "papat likur, mbak."
Aku: "empat puluh boleh?" (Seingatku selikur itu 21 sehingga
di benakku papat likur itu ya kira-kira 41 atau 42 sehingga kutawar segitu.)
Pedagang terkesima menatapku
seraya tersenyum lalu berkata: "maksudnya
dua puluh empat, mbak."
Pembeli-pembeli lain turut
melihat ke arahku seakan-akan penuh tanya: "anak
mana ini?" Hahaha... mendadak maluku pindah lokasi. Hehehe... sembari
tersenyum malu aku pun tak jadi menawar
dan segera membelinya sesuai harga yang ditawarkan.
Sesampai di rumah kuberitahu mama
perihal kejadian tersebut lalu mama berkata: "ya sudah tak apa... memang kisaran harganya segitu."
Hehehe... selanjutnya tiap kali diminta membeli sesuatu di pasar, aku tanyakan
dulu kisaran harganya dan tak lupa berkata: “tidak kutawar lho”.
Maklum saja aku tak bisa mewarisi kemampuan mama dalam hal tawar menawar harga
seperti cara-cara yang disampaikan ps.Jose. Ada kalanya aku tak tega menawar
ketika penjual mengatakan bahwa keuntungannya sedikit. Namun, ada kalanya aku
pun tak berani menawar karena penjualnya terkesan suka marah.
Pada kesempatan lain ada pembeli
datang ke toko mama lalu menawar barang habis-habisan seperti yang biasa mama
lakukan. Setelah sekian waktu lamanya barulah ada kesepakatan. Nah, selepas
kepergian si pembeli mama berkata kepadaku: "mama
kesel... pembeli tadi itu kalau menawar selalu berlebihan."
Jawabku: "Lah... mama sendiri juga sering menawar berlebihan. Mama pernah
menawar hingga di bawah setengah harga yang ditawarkan."
Mama: "Iya lihat-lihat tempatnya. Kalau
tidak menawar, bisa tertipu karena ada yang menjual barang dengan harga
yang jauh lebih mahal daripada harga belinya. Di sini ya lain... tidak seperti
di pasar."
Aku: "Tapi, ya sudah resiko ma. Kalau mama suka menawar harga, ya
jangan kesal kalau ada orang yang juga menawar harga di toko mama...
hehehe..."
Lukas 6:31 Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Hmmmm... cerita ps.Jose tentang
jam tangan sungguh mendukung perkataan mama bahwa memang masih ada pedagang
yang menjual barang dengan harga tak wajar. Karena aku tak mampu menawar,
seandainya pembeli jam itu adalah aku, ah... pastilah aku sudah tertipu membeli
jam tangan seharga Rp2 juta padahal seharusnya bisa membelinya di bawah Rp1
juta. Jika hal seperti ini terjadi, aku pasti tak mau balik lagi ke pedagang
tersebut dan beralih saja ke pedagang lain yang menetapkan harga secara wajar
(tidak mengambil keuntungan terlalu banyak) sekalipun dia murah hati.
Yach, memang sich tak ada
pedagang yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Jika telah
menikmati kemurahan hati pedagang, bersyukurlah. Namun, jika pernah tertipu
pedagang, bersyukurlah pula dan jangan terlalu disesali karena ini waktumu 'tuk
belajar berderma atau ikhlas...hehehe...
Pengkhotbah 3:6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
SEMPURNA
KAU begitu sempurna di mataku KAU
begitu indah. KAU membuat diriku akan s’lalu memuji-Mu. Di setiap langkahku ku
’kan s’lalu memikirkan diri-Mu. Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cinta-Mu.
*
Janganlah KAU tinggalkan diriku, tak ‘kan mampu menghadapi semua. Hanya
bersama-Mu ku akan bisa.
Reff:
KAU adalah darahku. KAU adalah jantungku. KAU adalah hidupku. Lengkapi diriku.
Oh
TUHAN-ku, KAU begitu Sempurna.. Sempurna..
KAU genggam tanganku saat diriku
lemah dan terjatuh. KAU bisikkan kata dan hapus semua sesalku.
Kembali
ke *
0 komentar:
Post a Comment