Catatan Ibadah ke-2 Minggu 18
September 2016
Ayub 6:11 ... apakah masa depanku, sehingga aku harus bersabar?
Kemarin malam aku bermimpi dari balik pintu kaca kulihat pebisnis itu sibuk
rapat di sana-sini. Karena merasa diabaikan, aku berniat pergi meninggalkan
gedung itu. Namun, dia buru-buru mendatangiku dan sembari menatapku dia
berkata: "Tetaplah di sisiku." Ouw... bagaimana aku bisa
menolaknya? Hahaha... (masih terbayang ekspresi wajahnya dan terngiang-ngiang suaranya)... itukah masa
depanku?
Tapi... menunggu itu melelahkan. Coba bayangkan saja apa yang kualami hari
ini. Sepulang dari gereja aku diantar titiku hingga ke terminal karena dia mau
pergi dulu ke tempat lain. Dari terminal aku pun naik bemo untuk pulang ke
rumah. Namun, bemo yang kunaiki tak jua berangkat karena masih menunggu bemonya
dipenuhi penumpang. Keluhku di hati: "Fiuuh... lama sekali. Biasanya tak
selama ini. Panas lagi."
Sekitar 30 menit kemudian beberapa penumpang pun mulai tak betah dan
berniat pindah ke bemo lain. Namun, akhirnya mereka tak jadi pindah karena
melihat beberapa penumpang lain mulai berdatangan hingga bemo penuh. Kami pun
segera meninggalkan terminal. Sopir pun agak mengebut di jalan hingga seorang
anak perempuan yang sedang memangku adiknya marah kepadanya: "pelan-pelan
paklik, adikku mau jatuh lho". Namun, anak itu segera ditegur oleh
ibunya agar tidak marah-marah. Penumpang lain pun tersenyum mendengarnya,
termasuk aku.
Namun, di dalam hati aku berkata: "tak apalah sedikit ngebut biar cepat
sampai di tujuan". Tak lama berselang bemo terguncang-guncang
hingga akhirnya menepi. Ternyata ban kiri belakangnya kempes. Ealah... sudah
lama menunggu di terminal, sekarang bannya kempes pula. Maunya cepat kok malah
lambat sich?
Beberapa ibu pun menegur si sopir yang masih muda: "Kalau menyetir buru-buru,
ya bannya kempes. Tak usah buru-buru... pelan-pelan saja... agar tidak
merugikan kita juga." Tanpa menanggapi celotehan ibu-ibu, sopir
tersebut bergegas mengganti ban. Dia pun meletakkan sebuah batu di depan ban
belakang yang kempes lalu dia memajukan bemonya sedikit sehingga ban kempes
berada tepat di atas batu tersebut.
Kemudian dia memasang dongkrak pada ban yang kempes lalu mengganjal ban-ban
lain dengan batu. Lantas dia berniat membuka baut-baut ban tetapi ternyata dia
tidak membawa kunci pembukanya. Alhasil, dia coba meminta bantuan kepada
orang-orang di sekitarnya tetapi tak ada yang punya kunci tersebut. Beberapa
menit kemudian lewatlah bemo dari arah berlawanan. Si sopir segera meminjam
kunci kepadanya dan untunglah dia punya.
Ban kempes pun berhasil dilepas lalu dia menurunkan ban cadangan untuk
dipasang. Setelah ban cadangan berhasil dipasang, dongkrak pun dilepas dan
ternyata ban cadangannya juga kempes. Ulala... Pada akhirnya semua penumpang
bemo menunggu lagi untuk dioperkan
ke bemo lain. Setelah kami dioper, sopir tersebut pastilah menunggu bantuan
dari temannya sesama sopir.
Hehehe... belajar sabar itu emang susah. Ujiannya tiba-tiba dan latihannya setiap hari. Hmmm... bersabar itu
benar-benar membutuhkan kekuatan ekstra besar, terutama menyetir pada hari yang
terik. Namun, mengapa bemo lain tak segera lewat hingga aku harus mengamati
sopir mengganti ban? Apa aku akan mendapat mobil yang harus kusetir sendiri?
Fiuuuh... nggak terbayang dech capeknya mengganti ban di bawah terik mentari
yang panas membakar kulit. Jadi, kalau Tuhan mau memberiku mobil, harus
dilengkapi sopirnya pula... hahaha...
WAKTU
TUHAN ~ Maria Shandi
Waktu Tuhan bukan waktu kita.
Jangan sesali keadaannya. Untuk semua ada waktu Tuhan, Tetap setia
mengandalkan-Nya.
Segala yang terjadi di hidupku,
Janji Tuhan menghidupiku s'lalu. Kuyakin percaya ada waktunya Tuhan. Semua 'kan
indah pada waktu-Nya.
Pengkhotbah 3:11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
0 komentar:
Post a Comment