Catatan
Ibadah ke-3 Minggu 3 April 2016
Ketika aku hampir 5 tahun dan memeku hampir
4 tahun, kami diajak papa berkunjung ke salah satu rumah saudaranya di luar
kota. Meskipun mama tidak ikut, kami tetap merasa senang karena kata papa kami akan diajak jalan-jalan. Nah, setelah langit gelap
kami pun meninggalkan tempat tersebut tetapi tanpa sengaja aku terpeleset di
atas pasir hitam yang ada di depan rumah itu. Tangan kananku pun terluka.
Namun, kami tetap melanjutkan perjalanan hingga kami memasuki sebuah rumah
besar dan bertemu seorang suster.
Ketika melihat tangan kananku berdarah,
suster segera membersihkan dan mengobati lukaku dengan salep betadine. Lalu suster berkata kepada
papa: "Malam ini bawalah mereka
pulang... kasihan tangan anak ini terluka. Besok pagi saja baru kembali kalau
lukanya sudah hampir sembuh karena kalau malam ini ditinggalkan di sini dalam
keadaan terluka dia bisa trauma."
Maka, mau tak mau papa menuruti sarannya
untuk membawa kami kembali ke rumah. Hehehe... itulah upahnya kalau membohongi
anak kecil. Akibatnya papa harus mengeluarkan biaya transportasi lebih banyak.
Hahaha... ternyata jatuh terpeleset bisa
membawa keberuntungan bagiku dan meme agar punya sedikit waktu lebih lama
di rumah. Sayangnya bekas luka itu masih tampak hingga kini dan bisa memancing
pertanyaan orang yang melihatnya. Huff...
Semenjak saat itu aku kesal kepada papaku.
Meskipun kami amit-amit nakalnya tetapi kami masih imut-imut lho. Lha kok tega
meninggalkan kami di asrama? Alasannya mencari uang agar kami bisa bersekolah
padahal saat itu kami merasa tidak membutuhkan uang atau sekolah. Bagi kami
yang penting bisa berkumpul dengan orang tua.
Di
asrama tak ada tempat untuk bermanja-manja. Ketika
ditindas atau diancam oleh anak yang lebih tua, kami tak bisa melapor kepada
orang tua karena mereka nun jauh di sana. Suster pun tak bisa memanjakan
ratusan anak sekaligus. Dengan
demikian, mau tak mau aku dipaksa menjadi kuat hingga
bisa menjaga diri sendiri, adikku, dan teman-teman terdekatku. Kalau anak lelaki harus kuat dan tidak boleh
menangis, aku pun harus bisa melakukan hal yang sama. Meskipun harus menangis
di hadapan Tuhan, setidaknya aku tetap tersenyum di depan manusia... hahaha...
Aku tahu aku harus kuat
karena tidak akan ada orang tua yang setiap hari bertanya kepadaku: “Hari ini mau makan apa? Bagaimana sekolahmu
hari ini? Belajar apa saja? Bagaimana temanmu? Bagaimana gurumu? Apa sekolahmu
menyenangkan? Apa ada masalah? Can I help you?” NO! Tidak akan ada orang tua yang seperti itu di asrama. Mau tidak
mau, suka tidak suka, anak asrama harus makan semua yang telah disajikan. Kalau ada masalah, ya hadapi sendiri.
Kalau sudah amat terpaksa, barulah lapor kepada guru asrama atau suster.
Ketika SD, ada pertanyaan ujian seperti
ini: "sebutkan 5 perbedaan antara pria
dan wanita". Salah satu jawabanku
adalah "pria tidak
punya perasaan sedangkan wanita punya perasaan." Namun, jawabanku yang ini langsung disalahkan gurunya tanpa
penjelasan. Hehehe... aku hanya ingat
coretannya yang panjang. Padahal, pengalamanku
membuktikan mama tak tega meninggalkan kami di asrama sehingga tak ikut mengantar kami sedangkan papa
tega. Suster tak tega melihat tangan kananku terluka sedangkan papa terkesan
tega. Jadi, apa yang salah dengan jawabanku? Lalu Tuhan jawab.
Suatu ketika Irma - teman seasrama dari
Flores dikunjungi papanya tetapi dia tampak ketakutan. Dia berkata kepadaku dan
beberapa teman lainnya: "Ayo ikut
aku... bantuin jaga karena aku takut sama papaku. Dulu sebelum masuk asrama aku
dan adikku disuruhnya mengemis. Jika kami tidak mau, kami dipukuli. Aku takut dibawa papaku lagi. Enak di
asrama."
Ketika mendengar penjelasannya, aku
prihatin sekaligus bersyukur. Syukurlah
papaku tidak sejahat papanya. Setidaknya papaku sendiri yang mencari uang
di negeri seberang dan kami tidak pernah disuruh mengemis seperti Irma.
Suatu hari suster kembali ke asrama sambil
membawa David - seorang anak yang kakinya lumpuh. Kata suster anak itu
ditemukan di tempat sampah dan kemungkinan besar sengaja dibuang oleh orang
tuanya. Fiuh... untunglah aku dan adikku
tidak dibuang ke tempat sampah dan hanya dititipkan di asrama. Oh...
ternyata masih ada orang tua yang lebih tega hati daripada papa. Kemungkinan
besar David tidak bisa bertemu orang tuanya lagi sedangkan aku masih bisa
berkumpul dengan mereka lagi.
Kolose 3:15 Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.
Hehehe... realita di asrama membuatku belajar bersyukur dalam segala keadaan.
Sewaktu kecil aku membaca kisah dua sahabat yang tidak puas dengan orang tuanya
sehingga mereka memutuskan bertukar posisi dan kedua orang tua mereka juga
setuju. Namun, setelah bertukar orang tua, mereka malah merindukan orang tua
mereka masing-masing.
Kita
tidak bisa memilih siapa orang tua kita tetapi kita
bisa memilih untuk bersyukur atas orang tua yang telah Tuhan berikan kepada
kita. Papaku bukan sosok ayah yang sempurna tetapi aku bersyukur papaku tidak
sekejam papanya Irma dan David. Meskipun segala yang terjadi tak selalu seiring
sejalan dengan keinginanku, kini kutahu
pasti semuanya untuk kebaikanku. Seandainya aku
tidak masuk asrama, mungkin aku menjadi anak yang manja dan nakal. Hehehe...
mungkin saja begitu.
SEMUA BAIK. Dari semula t’lah Kau
tetapkan Hidupku dalam tangan-Mu, Dalam
rencana-Mu Tuhan. Rencana indah t’lah Kau siapkan Bagi masa depanku yang penuh
harapan. Reff: S'mua
baik, s’mua baik. Apa yang t’lah Kau perbuat di dalam hidupku. S’mua baik,
sungguh teramat baik. Kau jadikan hidupku berarti.
Kita tidak kebetulan berada di dalam sebuah keluarga.
Ada rencana Tuhan di dalamnya.
Yesaya 42:6, 8 Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa, Aku ini TUHAN, itulah nama-Ku; Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain atau kemasyhuran-Ku kepada patung.
0 komentar:
Post a Comment