Mengutamakan Kehendak Tuhan
Catatan Ibadah ke-1 Minggu 6 April 2025
"Ini baru sekitar 100 anak tangga, totalnya
ada 400 anak tangga," ujar bapak pemandu raftingku di Sungai Ayung, Bali.
Aku pun hanya berdiri dalam diam sambil bertopang di dayungku. Bapak itu
memintaku melepas ikatan rompi pelampung agar aku bisa bernafas lega. Aku pun
melakukannya sambil berkata, "Bapak duluan saja."
Ah, jika dia merokok di dekatku, mana bisa
aku bernafas lega? Untunglah bapak itu mau mengikuti permintaanku. Beberapa
menit kemudian aku kembali menaiki beberapa anak tangga di sana lalu berhenti
lagi di kiri jalan. Seorang ibu yang membawa perahu karet memintaku terus
bergerak naik karena aku menghalangi jalannya. Maka, aku terpaksa bergerak naik
sekitar lima anak tangga lalu segera berhenti di kanan jalan agar dia bisa naik
lebih dahulu.
Lantas aku kembali menaiki beberapa anak
tangga batu dan mendengar seorang pemuda berkata, "Tuhan Yesus".
Seketika aku berucap, "jalan salib". Namun, tampaknya dia tidak
mendengar ucapanku dan tetap melanjutkan perjalanan ke atas sambil sempoyongan.
Aku hanya berdiri diam memperhatikannya sambil mengistirahatkan kaki yang letih.
Untunglah dia tidak sampai terjatuh.
Kupejamkan mata dan kubayangkan jalan
salib via dolorosa yang panas, berdebu, dan berbatu-batu. Kerikil kecil
pasti menghambat langkah kaki Yesus, lebih dari yang kualami. Keringat-Nya pun
pasti bercucuran dengan deras, lebih dari yang kualami karena di sekitarku
masih banyak pohon peneduh. Tenggorokan-Nya pasti sangat kering karena cuaca
ekstrim tersebut.
Kaki-Nya juga pasti lebih sakit dan lebih lelah
daripada kaki mungilku ini. Salib-Nya juga pasti jauh lebih berat daripada
dayung yang kubawa. Tangan-Nya juga pasti jauh lebih sakit dan lelah daripada lelahnya
mendayung. Kepala-Nya terluka parah karena mahkota duri. Alhasil, dalam perjalanan
salib tersebut Yesus tersungkur tiga kali.
Sementara itu, punggung jari tengah di
tangan kiriku hanya sedikit lecet. Ini karena saat mendayung, secara tak
sengaja jariku mengalami gesekan kerikil di perahu karet. Selain itu,
orang-orang di sekitar Yesus hanya menonton atau melewati-Nya. Pada awalnya Simon
dari Kirene pun ikut memanggul salib karena dipaksa oleh serdadu. Jadi, pedih
dan lelahku sudah Dia rasakan. Lalu Yesus menang dari semua penderitaan itu
untuk memberi kita kekuatan dan kemenangan pula.
Ada pendeta pernah berkata, “Kalau mau berjalan cepat, berjalanlah sendiri. Kalau mau berjalan jauh, jalanlah bersama.” Faktanya, hal ini tidak berlaku dalam situasiku tersebut. Karena menyadari kapasitas kakiku dan tidak ingin menghambat pergerakan orang lain, aku berkata kepada mereka yang ada di sekelilingku, baik dengan bahasa lisan maupun bahasa tubuh, “Silahkan (naik ke atas) duluan.”
“Kalau
mau berjalan bersama, berjalanlah cepat. Kalau mau berjalan jauh, sering-seringlah
beristirahat sendiri. Tak perlu menghambat mereka yang mau berjalan cepat.”
Tiba-tiba seorang bapak pemandu lain
menepuk rompi punggungku. Ketika aku menoleh ke arahnya, dia bertanya,
"Masih kuat?" Jawabku, "Ya, asal pelan-pelan."
“Tidak
perlu membandingkan diri dengan kapasitas orang lain. Lebih baik alon-alon
waton kelakon (pelan-pelan asal sampai/ terlaksana), ora usah grusa
grusu, wes ono wayahe dewe (tidak perlu buru-buru, sudah ada waktunya
sendiri).”
Tanyanya pula, "Bagaimana jika
digendong olehnya (bapak pemandu raftingku)? Apa dia kuat? Mungkin bisa
dicoba." Bapak itu menoleh ke belakang dan menjawab bahwa dia pasti kuat,
tetapi tentu saja aku menolaknya. Sekali lagi kuminta mereka naik lebih dulu.
Bapak pemandu raftingku sudah mulai
naik lagi dan meninggalkanku di belakang, tetapi bapak pemandu lain masih
bertanya lagi, "Apa kelelahan mendayung?" Aku pun menjawab,
"Bukan. Ini karena kakiku tidak kuat naik tangga. Jadi, harus naik
pelan-pelan." Lantas dia ikut naik mendahuluiku dan meninggalkanku pula.
Aku pun menarik nafas panjang dan berdoa,
"Oke, akan kutempuh jalan salibku. Semoga aku tidak sampai pingsan
dan jatuh ke jurang. Selama aku masih sadar, aku tidak akan memberi mereka
kesempatan untuk menggendongku." Aku tidak mau mereka menyanyikan lagu ‘Tak
Gendong’ karena aku mau menyanyikan lagu ‘Hari Terbaik’.
HARI TERBAIK
Hidupku ada di tangan-Mu. Kau
b'ri rancangan yang terindah. Tak hanya yang baik saja, yang kuterima.
Walau tubuhku diremukkan, walau jiwaku terkoyakkan, Pujianku tak 'kan
terhentikan. Roh-Mu yang memberi penghiburan.
Akan kupikul salibku. Cukuplah kasih setia-Mu. Kubertahan Kau kuatku. Teguhkan
imanku.
Kumau tetap bersyukur. Senantiasa bersyukur. Segala yang kualami biar
kehendak-Mu terjadi. Kumau tetap bersyukur. Senantiasa bersyukur. Hatiku
'kan bersuka s'bab hari ini hari yang terbaik.
Kemudian aku mulai menaiki beberapa anak
tangga dan berhenti lagi beberapa detik. Acapkali paha dan betis mulai sakit,
aku pun berhenti lagi selama beberapa detik. Untunglah anak tangga bisa dilalui
oleh dua orang sehingga semua orang dari berbagai bangsa bisa mendahuluiku
ketika aku berdiri diam untuk mengistirahatkan kaki.
0 komentar:
Post a Comment