Sekalipun Salah … Lanjut
Catatan Ibadah ke-1 Minggu 09 Juli 2023
Keesokan harinya Shisuka berkata kepada
perdana menteri, "Ngapain kamu mau tanda tangan? Kamu ini terlalu
penurut." Katanya sambil tersenyum, "Aku bertanya kepada raja, 'Kalau
seandainya surat itu jadi dijalankan, Raja mau aku bagaimana?'"
Jawab Shisuka, "Itu artinya kamu diminta
mengabdi kepadanya seumur hidup. Aku sih tidak mau."
Sambung Shisuka, "Karena dia hanya
memberikan satu komputer, ada data yang tidak akan kuinput. Kalau dia mau
pencatatan manual, carikan dia pembukuan tahun 1940-an, tidak perlu cari
staf administrasi dari era ini. Cari saja orang-orang seusia raja yang lahir
pada tahun 1944 atau cari yang lebih tua darinya."
Beberapa orang, termasuk perdana menteri
langsung tertawa mendengar perkataan Shisuka. Namun, dia masih kesal juga,
"Minta data real time, tetapi pencatatan manual. Coba dia kerjakan
sendiri. Apa kubawakan data-datanya ke sana? Biar raja sendiri yang input
kerjaan tiga orang. Aku mau lihat bagaimana dia menyelesaikannya dalam setengah
jam."
Pendengarnya kembali tersenyum dan tertawa.
Pikir Shisuka, "Kok lucu sih orang-orang ini. Aku marah loh. Kenapa
tiap kali mendengar kemarahanku, orang-orang itu malah tertawa?" Maka,
dia pun ikut tertawa.
Salah satu bendahara raja berkata,
"Dulu aku juga diminta mencatat secara manual oleh orang yang ada di
posisimu. Aku bilang datanya sudah ada di komputer, tetapi dia tidak mau
melihatnya. Dia maunya catatan manual. Jadi, kutinggal pergi daripada aku kerja
dua kali, sudah input di komputer, kok masih diminta menyalin di buku? Tidak
ada gunanya."
"Iya, andaikata bank mencatat
transaksi secara manual, mana bisa kita melihat saldonya saat itu juga? Raja
mencari staf administrasi masa kini untuk pencatatan manual, ya percuma, tidak
ada gunanya." Balas Shisuka.
Kemudian dalam hening gelap malam Shisuka
yang masih kesal bertanya kepada Raja segala raja, "Mengapa Kau selalu
mempertemukan aku dengan pecinta Mamon? Raja itu benar-benar membuatku
marah. Bisa-bisanya dia memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk merebut
kebebasanku. Papaku aja tidak pernah minta uang, kok bisa dia minta uang dariku?
Ratusan juta pula."
Lantas Shisuka tergerak untuk mendengarkan
sebuah lagu Mandarin berjudul 'Guang Liang'. Jika
diterjemahkan, artinya kurang lebih seperti ini,
"Hembusan angin bertiup dari laut. Awan putih
berduyun-duyun ke darat. Musim hujan membawa butiran pasir. Pergantian musim
hangat dan dingin.
Begitu banyak kehidupan, Anda tidak perlu khawatir jejak layu lainnya.
Angin dan hujan yang tiba-tiba menerpaku saat aku sedang berlari, itu adalah
cahaya yang menyala dalam kegelapan.
Mungkin Anda tidak bisa menebak nasib yang tidak diketahui, Terbang seperti
meteor, tidak tahu tujuannya. Tapi ah, saya bersedia untuk percaya:
‘Anda yang terkecil, terlemah, terlembut, paling tak kenal takut Menanggapi
dengan sekuat tenaga. Tidak ada batasan, tidak ada akhir, tidak ada solusi,
selalu ada hikmahnya. Biarkan cahayanya menerangi dirimu.’
Jangan dengarkan suara hujan jatuh melalui hutan dan menimpa dedaunan. Mengenakan
jas hujan berserat kasar, bersedia untuk hidup tenang seumur hidup dalam hujan
berkabut.
Narasi terakhir di Paviliun Changyin. Enam ratus tahun seperti sebutir millet, Semua
penderitaan di masa lalu seperti sebuah mimpi. Tapi ah, saya bersedia
untuk percaya:
‘Anda yang terkecil, terlemah, terlembut, paling tak kenal takut Menanggapi
dengan sekuat tenaga. Tidak ada batasan, tidak ada akhir, tidak ada solusi,
selalu ada hikmahnya. Biarkan cahayanya menerangi dirimu.
Jangan dengarkan suara hujan jatuh melalui hutan dan menimpa dedaunan. Enam
ratus tahun seperti sebutir millet, Semua penderitaan di masa lalu seperti
sebuah mimpi.
Apa pun tujuannya, Anda yang paling berani. Jangan tanya nasib yang fana,
dirimu yang paling tak kenal takut."
0 komentar:
Post a Comment