Friday, April 7, 2023

Perbincangan di Meja Makan

Tidak Ada yang Memaksa

Catatan Ibadah Jumat Agung ke-1 Minggu 7 April 2023

Pada masa awal puasa ada seorang muslim yang tidak berpuasa karena dia sedang kedatangan tamu bulanan. Maka, dia menemaniku makan. Sembari makan kami berusaha saling mengenal karena dia memang pendatang baru di tempat itu. Aku pun bertanya kepadanya, "Anakmu berapa?"

Seperti Tuhan, dia menjawab lebih dari yang kuharapkan, "Ada tiga, tetapi aku sudah cerai dari suamiku karena dia selingkuh dengan wanita lain. Semua anakku ikut aku, tidak ada yang mau ikut dia. Mantan suamiku juga tidak pernah menjenguk anak-anak kami lagi. Dia juga tidak menafkahi."

"Bukankah dalam Islam ada kewajiban mantan suami untuk menafkahi anak karena tidak ada mantan anak?" tanyaku kepadanya. Lalu dia menjawab, "Iya, seharusnya aku bisa menuntut hal itu, tetapi saat itu aku hanya ingin segera terbebas darinya sehingga tidak memikirkan hal itu."

Dia yakin bahwa mantan suaminya akan beroleh balasannya sendiri. Sekalipun perpisahan itu terjadi sekitar tiga tahun lalu, bola matanya masih menyiratkan kepedihan. Maka, aku pun menyetujui pernyataannya.

Aku teringat kepada suami tetanggaku yang selingkuh dengan rekan kerjanya. Tetanggaku tidak menikah lagi demi anaknya. Selang beberapa waktu kemudian mantan suaminya meninggal dengan tragis di dalam mobilnya yang ditabrak oleh kereta api.

Tiba-tiba wanita itu melanjutkan, "Aku juga diminta menikah lagi, tetapi aku tidak mau." Loh, aku tidak bertanya. Aku juga tidak menceritakan kisah tetanggaku itu dan hanya memikirkannya. Kupikir dia tidak mau menikah lagi juga karena mengkhawatirkan anak-anaknya yang mungkin tidak cocok dengan suami barunya. Namun, ternyata dia takut gagal lagi. Jadi, aku berkata, "Itu namanya trauma."

Dia pun tertawa dan kembali bertanya, "Lalu kenapa kamu tidak menikah? Nunggu apa?" Hahaha ... beginilah caranya kalau mau mengalihkan topik pembicaraan. Aku pun tertawa dan menjawab, "Aku hanya tidak ingin terikat." Lalu kami tertawa dan pergi ke tempat masing-masing karena acara makannya sudah selesai.

Sewaktu masih sekolah dasar (SD) aku mendengar kisah Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi. Aku juga mendengar bahwa anak-anak di desa itu harus menikah setelah lulus SD. Lalu aku berkata kepada Tuhan, "Aku tidak mau seperti itu. Jika aku dipaksa menikah, lebih baik aku mati. Karena tidak boleh bunuh diri, ya cabut saja nyawaku atau ambil saja hatiku agar aku bisa hidup tanpa perasaan."

Aku tidak mau mendapat peran seperti Siti Nurbaya. Lebih baik aku berperan seperti R.A. Kartini dan Dewi Sartika yang tidak pasrah dengan keadaan. Hahaha ... untunglah Tuhan tidak pernah memaksaku sehingga tak seorang pun bisa memaksaku untuk menyerahkan kebebasan hatiku.

Jadi, selama aku masih memiliki perasaan, aku tak bisa sekadar hidup dengan iman. Bagaimanapun juga kasih lebih besar daripada iman. Bisakah kita mengasihi tanpa melibatkan perasaan? Seharusnya tidak bisa. Kasih dan benci sama-sama berkaitan dengan perasaan. 

1 Korintus 13:13 (TB) Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.