Catatan Ibadah Jumat Agung ke-1 Minggu 7
April 2023
Pada masa awal puasa ada seorang muslim
yang tidak berpuasa karena dia sedang kedatangan tamu bulanan. Maka, dia
menemaniku makan. Sembari makan kami berusaha saling mengenal karena dia memang
pendatang baru di tempat itu. Aku pun bertanya kepadanya, "Anakmu
berapa?"
Seperti Tuhan, dia menjawab lebih dari
yang kuharapkan, "Ada tiga, tetapi aku sudah cerai dari suamiku karena
dia selingkuh dengan wanita lain. Semua anakku ikut aku, tidak ada yang mau
ikut dia. Mantan suamiku juga tidak pernah menjenguk anak-anak kami lagi. Dia
juga tidak menafkahi."
"Bukankah dalam Islam ada kewajiban
mantan suami untuk menafkahi anak karena tidak ada mantan anak?" tanyaku
kepadanya. Lalu dia menjawab, "Iya, seharusnya aku bisa menuntut hal itu,
tetapi saat itu aku hanya ingin segera terbebas darinya sehingga tidak
memikirkan hal itu."
Dia yakin bahwa mantan suaminya akan
beroleh balasannya sendiri. Sekalipun perpisahan itu terjadi sekitar tiga tahun
lalu, bola matanya masih menyiratkan kepedihan. Maka, aku pun menyetujui
pernyataannya.
Aku teringat kepada suami tetanggaku yang selingkuh dengan rekan kerjanya. Tetanggaku tidak menikah lagi demi anaknya. Selang beberapa waktu kemudian mantan suaminya meninggal dengan tragis di dalam mobilnya yang ditabrak oleh kereta api.
Tiba-tiba wanita itu melanjutkan, "Aku
juga diminta menikah lagi, tetapi aku tidak mau." Loh, aku tidak bertanya.
Aku juga tidak menceritakan kisah tetanggaku itu dan hanya memikirkannya. Kupikir
dia tidak mau menikah lagi juga karena mengkhawatirkan anak-anaknya yang
mungkin tidak cocok dengan suami barunya. Namun, ternyata dia takut gagal lagi.
Jadi, aku berkata, "Itu namanya trauma."
Dia pun tertawa dan kembali bertanya,
"Lalu kenapa kamu tidak menikah? Nunggu apa?" Hahaha ... beginilah
caranya kalau mau mengalihkan topik pembicaraan. Aku pun tertawa dan menjawab,
"Aku hanya tidak ingin terikat." Lalu kami tertawa dan pergi ke
tempat masing-masing karena acara makannya sudah selesai.
Sewaktu masih sekolah dasar (SD) aku mendengar
kisah Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi. Aku juga mendengar bahwa anak-anak di
desa itu harus menikah setelah lulus SD. Lalu aku berkata kepada Tuhan,
"Aku tidak mau seperti itu. Jika aku dipaksa menikah, lebih baik aku mati.
Karena tidak boleh bunuh diri, ya cabut saja nyawaku atau ambil saja hatiku
agar aku bisa hidup tanpa perasaan."
Aku tidak mau mendapat peran seperti Siti
Nurbaya. Lebih baik aku berperan seperti R.A. Kartini dan Dewi Sartika yang
tidak pasrah dengan keadaan. Hahaha ... untunglah Tuhan tidak pernah memaksaku
sehingga tak seorang pun bisa memaksaku untuk menyerahkan kebebasan hatiku.
Jadi, selama aku masih memiliki perasaan, aku tak bisa sekadar hidup dengan iman. Bagaimanapun juga kasih lebih besar daripada iman. Bisakah kita mengasihi tanpa melibatkan perasaan? Seharusnya tidak bisa. Kasih dan benci sama-sama berkaitan dengan perasaan.
1 Korintus
13:13 (TB) Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan
kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
0 komentar:
Post a Comment