Catatan
Ibadah ke-1 Minggu 26 Mei 2019
Pada suatu hari terlintas di benakku untuk menanyakan keberadaan saudara
kandung seseorang. Namun, aku segera menepisnya dengan berkata dalam hati: "Tidak, jangan sekarang. Nanti saja
kalau kami sudah akrab." Eh, entah mengapa tiba-tiba saja aku
sudah memutar badan dan bertanya kepadanya: "Apa
kamu punya adik ...?" Dengan ekspresi heran dia melihat ke arahku.
Ah... alasan apa ini?
Tiba-tiba aku teringat akan salah satu adikku yang pernah kuliah di P.
Maka, aku melanjutkan pertanyaanku: "Apa
kamu punya adiikk yaang kuliaah di Pp?" Waduuh... kalau dia sampai
punya adik yang kuliah di sana, aku jawab apa donk? Lantas dia tidak heran lagi
dan segera menjawab: "Ada adik
sepupu." Wah, lega rasanya dan buru-buru kujawab: "Bukan. Adik kandung." Batinku: “Oh Tuhan, ngapain aku perlu menanyakan hal ini?”
Seketika itu juga dia mengatakan bahwa dia anak bungsu. Hah!?! Bungsu?
Bungsu kok seperti anak sulung? Tanyaku lagi: "Kamu anak tunggal?" Jawabnya: "Bukan. Aku punya cece dan koko. Aku berbeda 9 tahun dari ceceku.
Cece dan kokoku berbeda 3 tahun. Aku ini anak yang tidak direncanakan."
Hah?!? Anak yang tidak direncanakan? "Kok
bisa?", tanyaku. Jawabnya: "Iya,
usiaku berbeda jauh dari mereka karena aku tidak direncanakan."
Tiba-tiba ada pendengar lain yang menimpali: "Dia tidak seberapa. Aku dan kokoku malah berbeda 17 tahun."

Sementara itu pria bungsu itu hanya diam saja. Penasaran nich. Kok bisa
ya ada bungsu yang seperti itu? Para bungsu yang sering kutemui itu biasanya
paling baik karena paling banyak mendapat perhatian ortu atau sebaliknya paling
nyebelin (selalu minta dituruti dan tak pernah mau kalah) karena terlalu
dimanja ortu. Dia tidak mirip itu. Ada apa dengan dia ya?
Q: “Apa yang membuatmu berkarir di
bidang ini?”
A: “Disuruh ortu.”
Q: "Dulu kuliah jurusan apa?”
A: “Accounting.”
Q: “Apa yang membuatmu mengambil jurusan itu?”
A: “Disuruh ortu.”
Q: “Hah! Kok disuruh ortu? Apa kamu tidak punya pilihan sendiri?”
A: “Sebenarnya aku mau mengambil jurusan teknik industri, tetapi tidak boleh oleh ortu.”
Q: “Lalu kamu menurut begitu saja?”
A: “Iya.”
Q: “Hmmm... Dulu aku malah tidak boleh kuliah oleh ortu dan diminta langsung menjadi kuli uyah alias bekerja selepas SMA, tetapi aku tidak mau.”
A: “Disuruh ortu.”
Q: "Dulu kuliah jurusan apa?”
A: “Accounting.”
Q: “Apa yang membuatmu mengambil jurusan itu?”
A: “Disuruh ortu.”
Q: “Hah! Kok disuruh ortu? Apa kamu tidak punya pilihan sendiri?”
A: “Sebenarnya aku mau mengambil jurusan teknik industri, tetapi tidak boleh oleh ortu.”
Q: “Lalu kamu menurut begitu saja?”
A: “Iya.”
Q: “Hmmm... Dulu aku malah tidak boleh kuliah oleh ortu dan diminta langsung menjadi kuli uyah alias bekerja selepas SMA, tetapi aku tidak mau.”
Hahaha... jadi ingat perdebatan dengan papa pada masa itu. Kala itu papa
melarangku kuliah dengan alasan tak ada biaya dan aku harus mencari uang
sendiri jika ingin kuliah. Jika dilarang membeli ponsel, aku bisa patuh, tetapi
jika dilarang kuliah, tidak bisa donk. Seperti puteri Yasmine dalam film Aladdin, aku tidak akan bungkam.
SPEECHLES - Naomi Scott
Verse 1: Here comes a wave meant to wash me away. A
tide that is taking me under swallowing sand, left with nothing to say. My
voice drowned out in the thunder. But I won't cry and I won't start to crumble
whenever they try to shut me or cut me down.
Chorus: I won't be silenced. You can't keep me
quiet. Won't tremble when you try it. All I know is I won't go
speechless 'cause I'll breathe when they try to suffocate me. Don't you
underestimate me 'cause I know that I won't go speechless.
Verse 2: Written in stone every rule, every word centuries
old and unbending: "Stay in your place"; "Better seen and not
heard". But now that story is ending. 'Cause I, I cannot start to crumble.
So come on and try. Try to shut me and cut me down.
Chorus: I won't be silenced. You can't keep me
quiet. Won't tremble when you try it. All I know is I won't go
speechless, speechless. Let the storm in. I cannot be broken. No, I
won't live unspoken 'cause I know that I won't go speechless.
Bridge: Try to lock me in this cage. I won't just
lay me down and die. I will take these broken wings and watch me burn across
the sky. Hear the echo saying:
Chorus: I won't be silenced. Though you wanna
see me tremble when you try it. All I know is I won't go speechless,
speechless 'cause I'll breathe when they try to suffocate me. Don't you
underestimate me ‘cause I know that I won't go speechless.
Outro: All I know is I won't go speechless, speechless.
BUNGKAM
Verse1: Ini dia datang gelombang jahat yang akan menerpaku. Air pasang
yang menyeret diriku di bawah pasir hisap, terbungkam tanpa ada kata. Suaraku
tenggelam di dalam petir. Tapi aku tidak akan menangis dan aku tidak akan hancur
kapanpun mereka mencoba membunuh dan menebas diriku.
Chorus: Aku tidak akan bungkam. Kau tidak bisa membuatku bungkam. Tidak
akan goyah saat kau mencobanya. Yang aku tahu bahwa aku tidak akan bungkam
tanpa kata karena aku akan bernafas saat mereka mencoba mencekikku. Jangan
kau meremehkan aku karena yang aku tahu aku tidak akan bungkam tanpa kata.
Verse 2: Tertulis di batu setiap aturan, setiap kata berusia ratusan tahun
dan tidak lekang: "Tinggal di
tempatmu"; "Lebih baik dilihat dan tidak didengar”. Tapi kini
cerita itu berakhir. Karena aku, aku tidak akan hancur berkeping-keping. Datang
dan cobalah. Coba bungkam aku dan hentikan aku.
Chorus: Aku tidak akan tinggal bungkam. Kau tidak bisa membuat aku bungkam.
Tidak akan goyah saat kau mencobanya. Yang kutahu aku tidak akan bungkam tanpa
kata, tanpa kata. Biar badainya masuk. Aku tidak bisa dihancurkan. Tidak,
aku tidak akan menjani hidup yang tidak terungkapkan karena aku tahu aku tidak
akan tinggal bungkam tanpa kata.
Bridge: Coba kunci aku dalam kandang ini. Aku tidak akan merebahkan badan
lalu mati. ‘kan ku bawa sayap-sayap patah ini dan lihatlah diriku terbang di
atas langit. Dengarkan gemanya berkata:
Chorus: Aku tidak akan bungkam. Berpikir aku akan terombang-ambing
saat kau mencobanya. Yang aku tahu aku tidak akan bungkam, bungkam. Karena
aku akan bernafas saat mereka mencoba mencekikku. Jangan remehkan aku Karena
aku tahu aku tidak akan bungkam tanpa kata.
Outro: Semua
yang aku tahu aku tidak akan bungkam tanpa kata, bungkam tanpa kata.
Kataku: “Tidak bisa. Tugas ortu
adalah membiayai anaknya, termasuk sekolahnya. Kalau tidak mau membiayai,
ngapain dulu punya anak?” Papa: “Sudah
untung kamu diberi makan dan tempat tinggal. Kuliah itu tidak harus.”
Bantahku: “Harus. Kerja itu setelah lulus
kuliah, bukan sekarang.” Mama: “Sudah...
sudah... nanti mama bantu mencarikan uangnya.” Wah... wah... wah...
ternyata dulu aku lebih nakal daripada pria bungsu itu, tetapi jangan salah
ya... Di depan ortunya pria bungsu itu memang terkesan patuh, tetapi di
belakang mereka, ckckckck... kelihatannya dia tidak mungkin sepatuh itu.
Tanya lagi ah: “Apa ortumu merokok?"
A: "Tidak”.
Q: “Siapa yang mempengaruhimu untuk merokok?”
A: “Ini pengaruh teman-temanku."
A: "Tidak”.
Q: “Siapa yang mempengaruhimu untuk merokok?”
A: “Ini pengaruh teman-temanku."
Hmmm... lanjut: "Apa ortumu
mengetahui bahwa kamu merokok?" Jawabnya: “Tidak karena aku tidak mengatakan kepada mereka.” Benar kan... dia
tidak benar-benar patuh kepada ortu. Karena pernah muda, aku tahu lha. Apalagi
sampai kini aku tetap terlihat awet muda... hahaha... jangan ada yang protes
ya... wkwwkw...
"Ehmm...
seharusnya ortunya dipanggil," gumamku. Maka, terdengarlah
pria bungsu itu tertawa. Hehehe... Iya ya... jika dia sudah bekerja, tak
mungkin meminta bosnya memanggil ortunya untuk menghentikan kebiasaan buruknya.
Seharusnya dulu sewaktu dia masih remaja ya... Namun, dulu dia malah bersekolah
di tempat yang tidak menghukumnya sekalipun dia membolos.
0 komentar:
Post a Comment