Catatan
Ibadah ke-4 Minggu 24 Maret 2019
Andaikata memasuki daerah baru bersama orang-orang yang sudah lama dikenal,
tentulah bukan masalah besar. Namun, jika harus ke daerah baru sendirian atau
dengan orang-orang yang baru dikenal atau bahkan belum dikenal, ini bisa
menimbulkan ketakutan atau kecemasan tersendiri. Bagaimana jika tersesat di
jalan atau tidak sampai di tujuan karena tidak mengenali jalan-jalan yang harus
kita lalui? Ya, mungkin masih bisa tenang sich karena nanti kita bisa minta
dijemput oleh seseorang yang ada di tempat yang akan kita datangi.
Namun, bagaimana jika bertemu orang jahat yang mencuri perbekalan atau
alat komunikasi kita? Bagaimana jika kehabisan baterai ponsel di tengah
perjalanan? Siapa yang akan menolong kita? Kalaupun ada yang mau meminjamkan
ponselnya, bagaimana jika kita tidak mengingat sebuah nomer telepon yang bisa
kita hubungi? Tenang, saluran telepon ke Surga akan selalu terbuka 24 jam
dan tidak ada nomer khusus yang harus dihafal karena kita cukup berseru: “Bapa”
atau “Tuhan” atau “Yesus”.
Selanjutnya, bagaimana jika kita tidak mengenali wajah orang yang
menjemput kita? Bagaimana kita bisa mengetahui dengan pasti bahwa kita dijemput
oleh orang yang tepat? Bagaimana jika kita salah menerima ajakan orang lain
karena mengira dialah orang yang ditugaskan untuk menjemput kita? Hmmm...
ternyata dalam situasi semacam ini insting atau suara hatiku cukup membantu
dalam pengambilan keputusan. Ketika melihat penjemput asing, tiba-tiba saja bisa
langsung yakin bahwa dialah yang bertugas menjemputku. Keyakinan ini pun muncul
begitu saja setelah melihat posisi dan ekspresi mereka.
Kok bisa ya? Mungkin ini hasil observasi bawah sadar. Misalnya: tadi
di gereja ada suatu kejadian yang tak lazim. Ketika kududuk di bangku kiri (anggap
saja dekat lorong 2), kulihat ada seorang jemaat di bangku seberang tampak
bertanya-tanya kepada orang di sampingnya. Aku tidak mendengar pertanyaannya,
tetapi kuamati dia memegang kantong persembahan biru lalu orang di sampingnya menunjuk
ke arah usher yang nun jauh (sekitar 3
meter lebih) ada di belakang mereka. Pemegang kantong persembahan pun menoleh
ke arah yang ditunjuk, tetapi terkesan enggan berjalan ke arah yang ditunjuk
sehingga dia pun tetap duduk di tempatnya sembari memegangi kantong persembahan.
Maka, aku langsung menebak percakapannya semacam ini: “Kantong persembahan ini diberikan kepada
siapa?” Lalu dijawab: “Berikan kepada
usher di sana.” Kemudian di dalam hatinya mungkin dia berkata: “Jauh juga ya... Ah, lebih baik kutunggu
usher-nya datang kemari.” Sementara itu di sisi belakang lorong tersebut kulihat
seorang usher pria sedang berbicara dengan
seorang usher wanita. Sekilas
terlihat bahwa mereka tampak bertanya-tanya. Meskipun suara mereka tak
terdengar, kemungkinan besar mereka sedang mempertanyakan kantong persembahan
yang kurang.
Tak lama berselang seorang usher
wanita nun jauh di seberang lorong 2 alias anggap saja di lorong 3 tampak
sedang berjalan maju sambil menoleh ke setiap deretan bangku kirinya. Lantas dari
jauh tak sengaja dia melihat ke arahku sehingga aku segera menunjukkan jariku
ke arah jemaat di seberangku yang masih tampak memegangi kantong persembahan. Nah,
tiba-tiba saja seperti langsung klik. Rasanya seperti mendengar usher wanita tersebut bertanya: “Kantongnya ada di sana ya?” sehingga
aku pun menganggukkan kepala padahal kami terpisahkan oleh jarak sekitar 3
meter lebih. Maka, dia bergegas memutar jalan untuk ke lorong 2 sembari
memberitahu usher pria yang tadi
berbincang dengannya.
Tak lama berselang usher pria
segera tiba ke arah yang kutunjukkan dan dia pun segera menemukan kantong
persembahan yang dicarinya. Hahaha... tentulah semuanya merasa lega, termasuk
jemaat yang bersangkutan. Ini yang kusebut insting hasil observasi dan untung
tebakanku benar. Jika sampai salah tebak, ya dijadikan pelajaran saja...
hahaha...
0 komentar:
Post a Comment