Catatan Ibadah ke-1 Minggu
06 Mei 2018
Tampaknya
bukan hanya pergaulan buruk yang bisa merusak kebiasaan baik. Pelayanan yang
berat juga bisa lho merusak kebiasaan baik. Akhir-akhir ini aku tuh bete,
stres, dan ingin marah-marah karena terjebak
di dalam suatu situasi yang benar-benar di luar impianku. Tiba-tiba saja
aku amat memahami kekesalan tokoh utama dalam film 'The Family Man'. Padahal, ketika menonton film tersebut,
aku tuh masih sempat menertawakan kebingungan dan kemarahan si tokoh utama.
Seorang
pria yang menjadi tokoh utama film tersebut telah memutuskan untuk mengejar
karir cemerlangnya di Wall Street sehingga dia meninggalkan kekasihnya. Dia pun
sukses hingga menjadi pria kaya raya. Pada suatu malam Natal dia pun tidur
sendirian. Namun, ketika terbangun, dia temukan dirinya di sebuah rumah
sederhana yang agak berantakan dengan seorang isteri dan dua anak balita. Aduh,
tentu saja dia marah-marah terus karena tak bisa menerima kenyataan ini.
Lantas
seorang malaikat memberitahunya bahwa
dia harus belajar menerima kenyataan tersebut karena dia sedang terjebak di
dalam suatu dimensi waktu. Perlahan-lahan pria itu pun berhasil mengatasi
mimpi buruknya sehingga dia pun bisa menikmati status barunya sebagai suami dan
ayah yang sederhana dan bahagia. Maka, suatu hari dia berkata kepada malaikat
bahwa dia tidak lagi menginginkan kehidupan riilnya sebagai pebisnis super kaya
raya karena dia ingin tetap memiliki keluarga sederhana tersebut.
Namun,
malaikat justru mengatakan bahwa dia akan kembali ke kehidupan riilnya setelah
bangun tidur. Oleh karena itu, pria ini berjuang agar tidak tertidur tetapi
akhirnya dia tertidur juga. Ketika terbangun, dia pun menemukan dirinya kembali
dikelilingi oleh segala kekayaannya. Maka, pria ini bergegas mencari mantan
kekasihnya untuk menceritakan semua mimpinya tentang kehidupan berkeluarga yang
menyenangkan bersamanya dengan kedua balita mereka yang baik pula. Hehehe...
ternyata mimpi bisa menjadi senjata ampuh
dalam mengubah pikiran seseorang.
Aku
sich tidak bermimpi untuk sekaya tokoh utama dalam film itu. Namun, aku juga
tidak terima ketika Tuhan memintaku berhenti bekerja agar bisa membantu orang
tuaku merawat dua balita yang dititipkan kepada mereka. Sekalipun aku
mengetahui bahwa hal ini merupakan harapan mamaku, tetap saja aku protes kepada
Tuhan. Sepandai-pandainya aku bersyukur,
aku pun masih bisa mengeluh juga jika kelelahan sudah mendera.
"Tuhan, kenapa aku
yang dipaksa berhenti kerja? Kenapa Engkau tidak memaksa mama kedua balita
tersebut? Jika mamanya lebih suka menjadi wanita karir daripada ibu rumah
tangga, aku ya lebih lagi darinya karena tidak ada yang menafkahiku. Namun,
kenapa justru aku yang harus bertanggung jawab membantu orang tuaku menjaga
kedua balita itu? Aku ini tidak pernah
minta anak, tetapi kenapa Kau beri anak? Dua lagi. Nakal-nakal lagi. Aku
tidak sanggup ini. Tolonglah cari orang yang mau dan benar-benar menyukai
anak-anak kecil untuk merawat kedua balita itu. Kenapa pula Kau tidak menutup kandungan para ibu yang enggan merawat
dan mendidik anaknya sendiri? Jika banyak ibu macam begini, sungguh
merepotkan orang lain lha. Jika harus mengurus kedua balita itu selama satu dua
hari, masih bisa lha, masih lucu lha, tetapi jika berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, ah... rasanya aku
semakin yakin bahwa menjadi ibu rumah tangga dan punya anak bukanlah ide
bagus."
Tuhan
menjawab: "Jika aku memaksa mamanya
berhenti bekerja, dia akan mengalami kepahitan hidup karena kamu sendiri tahu
bahwa dia selalu khawatir kekurangan. Namun, kamu telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan dan kamu
masih bisa mengampuni mereka yang memaksamu berhenti bekerja."
0 komentar:
Post a Comment