Catatan Ibadah ke-1 Minggu 10 Desember 2017
Benarkah semua ibu mau berkorban bagi anaknya? Oh, andai saja benar demikian, tentulah tak ada anak yang mati di tangan ibunya atau menderita karena ibunya. Sayangnya, tak semua ibu siap berkorban untuk mendidik anaknya hingga kadang kala malah orang lain yang harus berkorban demi kenyamanan ibu-ibu semacam ini. Minggu lalu Ps. Philip Mantofa menyatakan bahwa dia merasa akhir-akhir ini banyak orang bermasalah dalam mengurus anak tetapi dia juga menyatakan bahwa semua masalah ini akan segera berlalu. SEGERA. Kata-kata ini sungguh menghibur. SEGERA. Rasanya aku jadi bersemangat mendengar kata tersebut. Masalah anak ini akan SEGERA berlalu.
Jika masalah mendidik atau mengurus anak merupakan masalah ibu-ibu doang, aku sich tak ambil pusing dengan hal ini karena aku bukan ibu dan tak pernah terbersit sedikit pun di benakku untuk menjadi seorang ibu atau seorang wanita yang mau berkorban seperti para ibu. Uuuggghh... ini benar-benar jauh dari impianku. Wanita mana sich yang rela membiarkan perutnya membuncit, kaki membengkak, tubuh melebar, susah tidur, susah makan selama 9 bulan, lalu menanggung rasa sakit yang amat sangat luar biasa?
Banyak lho wanita yang mau melakukannya dengan rela tetapi itu pasti bukan aku. Aku tidak rela berkorban sedemikian banyaknya karena aku juga tidak suka menderita. Demi impianku ini aku sudah berlatih jurus sub-zero untuk 'membekukan hati' setiap orang yang coba-coba merusak impianku. ihihihi... membuat orang illfeel tuh mudah. Namun, mendidik anak tuh amat sangat susah sekali dan aku mau menyerah saja. Beberapa minggu lalu aku sudah komplain kepada Tuhan dengan mengemukakan alasan-alasan logis:
* Oh Tuhan, seorang emak mengatakan bahwa aku merupakan jawaban doanya untuk membantunya menjaga kedua cucunya karena dia tak sanggup menjaga mereka yang super aktif tersebut. Di sisi lain Kau pasti juga mendengar bahwa ibu kedua anak tersebut lebih memilih bekerja atau berkarir daripada menjaga anak-anaknya sendiri. Bahkan, dia lebih senang dan rela jika kedua anaknya diasuh oleh pembantu yang kurang berpendidikan daripada diasuh oleh sarjana sepertinya.
* Nah, ibunya saja telah memilih seperti itu lalu kenapa aku yang tidak siap dan tidak mau menjadi ibu malah dituntut menjaga kedua anak itu? Dulu Kau utus seorang pria untuk mengantar jemput kedua cucu emak itu hingga dia menyerah karena pria single itu juga ingin memiliki kehidupannya sendiri. Maka, orang tua kedua anak itu mulai berlangganan mobil anjem sebagai gantinya sehingga pria itu mulai sedikit bernafas lega.
* Lha, kok sekarang mengutus aku sebagai gantinya? Emak yang telah berpengalaman mengasuh anak saja menyerah apalagi aku yang belum punya pengalaman. Selain bukan ibu, aku juga tidak pernah menempuh pendidikan sebagai guru dan psikolog. Aaaaaaaahhh... Aku juga tidak sanggup nich. Aku juga mau menyerah.
* Kabarnya sich ayah kedua anak itu telah berhasil memperoleh penghasilan yang lebih tinggi daripada sebelumnya, tetapi untuk apa? Percuma donk Engkau memberinya penghasilan tinggi jika salah satu dari mereka tetap tidak sanggup mendidik anak-anaknya sendiri. Jika suatu saat Tuhan bertanya kepada mereka: "Mengapa kalian tidak mendidik sendiri anak-anak yang telah Ku-titipkan kepada kalian?" Masa mereka mau menjawab bahwa mereka harus bekerja agar mampu mencukupi kebutuhan? Berapa sich batasan cukup untuk sebuah keluarga berencana? Sekalipun penghasilan ayah kedua anak itu sekarang lebih tinggi daripada yang dulu, apa bedanya?
* Kelihatannya anak-anak mereka memang tercukupi semua materinya tetapi kurang dididik. Jika aku yang menegur dan menghukum anak-anaknya, aku malah dikatakan 'jahat' dan tukang ikut campur urusan orang lain padahal mereka sendiri yang memulai segalanya dengan egois. Oleh karena itu, ya wajar jika sesama anaknya juga belajar egois dengan saling berebut mainan, makanan, minuman, tempat duduk, dan lain-lain. Masa aku juga tidak boleh sedikit egois? Aku juga mau donk bebas memiliki kehidupanku sendiri.
* Jika anak-anak itu membuang-buang isi susu kotaknya, seharusnya ya jangan dibelikan lagi sebagai hukuman tetapi tetap saja dibelikan. Mereka harus belajar menghargai makanan donk sekalipun orang tua mereka berkelimpahan materi. Jika anak-anaknya merusak barang di toko emaknya, si emak juga hanya mengeluh dan berteriak: “Rull, lihat ulah anak-anak ini...” Astaga. Capek aku, Bapa. Capek. Aku tidak sanggup. Ini melelahkan. Anak-anak itu tuh sudah diberitahu berulang kali untuk menghargai makanan dan tidak melakukan pengrusakan tetapi kok tetap saja diulang dan diulangi lagi sich padahal tidak ada yang memberinya contoh. Mereka meniru siapa sich???
* Si emak juga segan pula memberitahu orang tua anak-anak itu dengan alasan harganya tidak seberapa. Padahal, ini bukan soal meminta uang ganti rugi tetapi soal mendidik anak. Jika aku yang bicara, tentu tak didengar oleh orang tua kedua anak itu karena aku hanya dianggap ‘orang luar’. Jika emaknya memang tak bisa mendidik, sudah sewajarnya orang tua anak-anak tersebut yang harus mendidik mereka dan bukan malah memanjakannya dengan menuruti semua keinginan mereka. Ketika anaknya mau sepatu baru yang ada lampunya, langsung deh dibelikan. Kalau salah, kok tidak ditegur? Apakah ingin selalu terlihat baik di depan anak karena jarang punya waktu dengan anak?
Emang sekarang mereka masih batita dan balita sehingga bisa dimaklumi kalau nakal tetapi yang kecil nan imut-imut ini suatu hari akan menjadi besar. Jika tidak dikendalikan sejak dini, bisa-bisa seperti nasib tetangga sebelah. Anak mereka diasuh oleh emaknya dan selalu dimanjakan. Semua kebutuhan anak tersebut tercukupi secara materi. Ketika remaja, si anak bukannya semakin baik tetapi semakin memprihatinkan karena mulai mencuri, minum-minum, dan melakukan keonaran lain.
Maka dari itu, tetangga pun khawatir melihat kenakalan kedua cucu emak itu yang suka berteriak dan merusak barang-barang. Jika orang tuanya hanya bisa mengganti barang-barang yang dirusak anaknya, bagaimana mereka bisa mengganti kerusakan karakter anaknya? Memanjakan anak sich boleh-boleh saja tetapi jangan sampai merusak masa depan anak itu. Kadang kala 'rotan' atau hukuman yang mendidik juga diperlukan untuk membuat jera dan mendewasakan karakter anak.
Amsal 23:13-14 Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.(Bukan rotan beneran lho... Jangan sampai anak dipukul sampai babak belur. Jadi, kekerasan terhadap anak juga harus dihentikan.)
Hmmm... Ternyata SEGERA tidak sama dengan seketika. Semua masalah pasti berlalu tetapi harus belajar berkorban terlebih dahulu? Uuugghh... susah sekali... susah... berat... berat sekali... ini benar-benar bukan impianku. Seharusnya tugas mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua kandung. Oh, hanya Tuhan yang bisa memberiku kekuatan karena menghadapi anak-anak semacam itu dibutuhkan ekstra kesabaran dan ekstra kekuatan tingkat surgawi... wkwwkw... Mendidik satu anak normal saja susah apalagi yang khusus. Jadi salut nich dengan para guru anak dan psikolog yang sanggup menangani banyak anak sekaligus, terutama anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Wahyu 3:8 Aku tahu segala pekerjaanmu: lihatlah, Aku telah membuka pintu bagimu, yang tidak dapat ditutup oleh seorangpun. Aku tahu bahwa kekuatanmu tidak seberapa, namun engkau menuruti firman-Ku dan engkau tidak menyangkal nama-Ku.
ENGKAU DI DALAMKU
Kaulah Penulis hidupku, Kau membuat s`galanya baru.
Engkau di dalamku dan kuada dalam-Mu. Tak ada yang tak mungkin bagi-Mu.
Ku dicipta untuk-Mu 'tuk membawa harum nama-Mu. Engkau
di dalamku dan kuada dalam-Mu. Kini kudatang mencari wajah-Mu.
Kau memahami hatiku, hanya Kau yang mengertiku s`lalu.
Engkau di dalamku dan kuada dalam-Mu. Kini kudatang mencari wajah-Mu.
Reff : Mengasihi-Mu s`lalu dengan
seg`nap hatiku, Mencintai-Mu seluruh perbuatan-Mu, Mengabdikan hidupku sesuai
rencana-Mu, kumau menyembah-Mu sampai akhir hayatku.
0 komentar:
Post a Comment