Saturday, December 2, 2017

Menceritakan Mimpi kepada Orang yang Salah?

Yesaya 54: Perjanjian Damai dengan Sion
Catatan Ibadah ke-1 Minggu 03 Desember 2017

Ouw, mimpi itu. Tiga bulan lalu aku menceritakan sebuah mimpiku kepada seseorang yang ada di dalam mimpiku. Tak seorang pun kuberitahu perihal mimpi itu, kecuali orang itu tetapi saat ini kupikir sudah tak ada gunanya merahasiakan mimpi itu lagi karena semua sudah terjadi seperti dampak cerita mimpi Yusuf... wkwwkw...

Di dalam mimpi saat itu aku sedang menaiki tangga ke lantai paling atas. Sekitar 10 anak tangga dari atas aku melihat sebuah jendela kaca bening berbentuk persegi nun jauh di kiri atas. Tak lama berselang (sekitar 3 anak tangga dari atas) kulihat seorang pebisnis muda turun dari lantai paling atas. Ketika berpapasan dengannya, dia tersenyum sambil berkata kepadaku: "Hai". Kemudian dia terus menuruni beberapa anak tangga tanpa menoleh lagi sehingga aku hanya diam tertegun di tempatku berpijak sembari menoleh ke arahnya. Aku berniat memanggilnya tetapi tiba-tiba aku telah berada di bagian paling atas gedung berdinding kaca.

Di sana aku melihat beberapa pria (sekitar 2-3 orang) tampak berdiri di dekat jendela. Mereka berkemeja putih, berjas hitam, berdasi panjang hitam, dan bercelana panjang hitam. (Agak mirip penampilan ko Philip hari ini tetapi warnanya berbeda.) Ruangan tersebut dilengkapi sebuah meja pertemuan panjang dari kayu berpelitur cokelat mengkilap yang bagian atasnya dilapisi kaca. Di sekeliling meja ini terdapat kursi-kursi empuk berlengan dan di setiap sudut ruangan tampaklah beberapa pot tanaman bunga penghias ruangan. Atap kacanya pun tampak melengkung dan di luar dinding kaca juga terlihat sejumlah pohon berdaun hijau lebat. Aku pun memandang sekeliling dengan perasaan ingin tahu karena ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini.

Eh, setelah itu aku terbangun dari mimpi. Keesokan paginya, aku pun tak bisa bekerja karena ada kendala pada jaringan komputerku akibat perpindahan posisi tempat duduk yang diajukan oleh seorang ateis. Nah, selagi menunggu tiba-tiba aku teringat akan mimpiku semalam. Daripada bosan menunggu jaringan komputer dipulihkan, aku pun menulis email untuk menyampaikan mimpiku kepada rekan mimpiku tetapi aku tidak menceritakan secara detail dan utuh. Latar belakang gedung dan ending mimpi pun kurahasiakan agar dia tidak merasa terancam seperti Saul terhadap Daud.

Di dalam email itu aku hanya menulis sekilas mimpi: "Aku bermimpi di suatu pagi nan cerah kita berpapasan di tangga yang ada di dalam sebuah gedung. Saat itu aku sedang menaiki tangga ke lantai paling atas dan kamu sedang menuruni tangga. Dari tangga kita dapat melihat ke luar melalui jendela yang sama. Ketika berpapasan, kamu tersenyum sambil berkata kepadaku: "Hai". Lalu aku terbangun dari mimpi." Kemudian di dalam email yang sama aku pun mendorongnya untuk tekun berdoa dan membaca Alkitab agar nantinya dia bisa menjadi teladan. ^_^

Biasanya naik tangga diartikan sebagai peningkatan dalam kehidupan dan turun tangga diartikan sebagai penurunan dalam kehidupan. Aku tidak mau dia turun dan terus turun seperti Saul sehingga aku berusaha memberinya kunci rohani untuk tetap naik dan naik hingga rembang tengah hari. Sekalipun aku memimpikan hal itu, aku juga tidak menginginkannya dan berharap dia bisa mengubah ending-nya karena aku tidak suka ending-nya. Karena hanya dia yang tampak jelas di dalam mimpiku, kupikir hanya dia yang bisa mengubah mimpi itu sehingga aku sengaja menceritakan mimpi itu kepadanya.
Roma 12:15 Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!
Tidak boleh bercerita? Tidak bisa. Jika hanya memikirkan diri sendiri, tentulah aku tidak bercerita kepadanya. Sekalipun waktu diputar kembali, aku tetap akan menceritakan mimpiku kepadanya karena aku tidak mau naik jika mengakibatkan dia turun. Aku tidak menginginkan posisinya karena hal itu menyangkut tanggung jawab dan resiko yang besar. Daripada dia turun, lebih baik aku tetap di posisiku atau aku yang turun. Namun, aku tidak berkuasa mengatur bunga tidurku. Aku hanya bisa berusaha mengubah masa depan seturut belas kasih Tuhan dengan melakukan sesuatu di masa kini tetapi keputusan akhirnya tetaplah di tangan Tuhan.

Menurutku Yusuf juga tidak menceritakan mimpi kepada orang yang salah. Wajar saja jika Yusuf menceritakan mimpinya kepada orang tua dan saudara-saudaranya karena mereka merupakan orang-orang terdekatnya dan tentulah Yusuf mempercayai mereka, seperti aku mempercayai pebisnis muda itu. Sayangnya mereka semua yang senior malah bereaksi negatif terhadap mimpi kami sekalipun kami belum sepenuhnya memahami makna mimpi kami.

Jika memiliki kesempatan, mungkin kami akan bertanya kepada mereka: "Mengapa mimpi kami merupakan ancaman bagi kalian? Mengapa kalian tidak bisa menyikapi mimpi kami dengan positif? Jika kalian memang ingin dipuja dan dihormati, itu bukanlah impian kami. Mimpi itu bukanlah permintaan kami sendiri. Kami hanya ingin meminta petunjuk tentang mimpi yang kami dapatkan karena kalian senior kami tetapi inikah jalan pilihan kalian? Mengapa hubungan persaudaraan rohani ini tidak lebih penting daripada keinginan hati kalian untuk dihormati? Mengapa kalian memilih turun dan terus turun ketika kami dibawa naik ke tempat tinggi? Mengapa kita tidak bisa bekerja sama mengubah mimpi tersebut hingga bersama-sama naik hingga rembang tengah hari? Mengapa kaaaaaak? Mengapaaaaa? Apa yang membutakan matamu kaaak? Oh, andai saja aku bisa mendonorkan sebagian "mataku" untukmu, kaaaaak..."
Lukas 10:23-24 Sesudah itu berpalinglah Yesus kepada murid-murid-Nya tersendiri dan berkata: "Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat. Karena Aku berkata kepada kamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya."
Tiada yang Lain
Bahkan, Daud pun seakan ingin berkata kepada Saul: "Pa, aku ini telah menjadi menantumu tetapi mengapa Kau singkirkan aku seperti ini? Mengapa kau berusaha membunuhku padahal aku tidak berusaha melakukan kudeta terhadapmu? Sekalipun aku telah diurapi untuk menggantikanmu, aku tidak menginginkan kejatuhanmu. Aku tahu setiap orang pasti meninggal dan tak ada kekuasaan yang abadi. Aku pun merasa belum memiliki kemampuan yang kubutuhkan untuk menggantikanmu sehingga berharap papa mau mengajariku hingga papa meninggal dengan wajar di atas tahta papa setelah mewariskan ilmu papa. Namun, kenapa papa harus meninggal dengan cara menyakitkan seperti ini? Mengapa kekuasaan atau tahta itu lebih penting daripada hubungan kita? Mengapa papa memilih jalan seperti ini? Mengapa paaaaaaaa... mengapaaaaaa?"
Markus 8:36 Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya.
TIADA yang LAIN. Selain Kau tiada yang lain. Hanya Kau milikku di Surga. Sekalipun dagingku lenyap, hatiku lelah tak berdaya. Chorus: Kusembah Engkau Allah yang perkasa. Kusanjung tinggi nama-Mu di hidupku, Tuhan tiada yang lain. Hanya Kau satu di hatiku.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.