Catatan Ibadah ke-1 Minggu 08
Oktober 2017
Alkisah pada zaman dahulu kala pada masa Dinasti Sukasuka hiduplah keluarga
Sadar. Ketika pasutri Sadar sudah semakin berumur dan anak mereka pun sudah
remaja, orang tua mereka pun semakin menua hingga tak banyak berbuat apa-apa.
Lantas pasutri Sadar memasukkan orang tua mereka ke dalam keranjang dan
membawanya ke dalam hutan. Anak mereka pun segera mengikuti karena penasaran
dengan ulah orang tuanya. Setiba di hutan pasutri Sadar segera mengeluarkan
orang tua mereka dari keranjang dan meninggalkannya begitu saja.
Namun, anak mereka bergegas mengambil keranjang tersebut untuk dibawa
pulang. Dengan terheran-heran pasutri Sadar bertanya kepada anak mereka: "Untuk apa kamu membawa keranjang
itu?" Dengan spontan si anak menjawab: "Untuk membawa kalian ke
hutan jika nanti kalian sudah tua dan tak bisa apa-apa lagi."
Seketika itu juga pasutri Sadar terketuk hatinya lalu mereka segera memasukkan
orang tua mereka ke dalam keranjang lagi untuk dibawa pulang ke rumah. Waktu
pun terus bergulir. Lambat laun teknologi semakin berkembang dan menggerus
nilai-nilai yang telah diwariskan oleh keluarga Sadar.
Maka, muncullah beberapa generasi ego dan mereka pun membentuk keluarga
seturut ego mereka sendiri. Pasutri Hitungan merasa telah menghabiskan banyak
uang untuk menghidupi anak-anak mereka. Maka, pada saat salah satu anak mereka
telah bekerja, berumah tangga, dan mempunyai anak sendiri, dia menuntut
anak-anak mereka memberikan uang. Ketika mereka mempunyai cucu, mereka tidak
mau merawat cucu mereka jika tidak diberi uang dengan dalih: "Baby
sitter saja minimal dibayar Rp1jt, masa kami tidak diberi uang jika kami harus
merawat cucu kami?"
Lalu ibu Hitungan sibuk bertanya kepada tetangga kanan kiri mereka seperti
pertanyaan yang biasa diajukan oleh para pekerja rumah tangga: "Kalian dikasih berapa oleh anak kalian
untuk merawat cucu kalian?" Tak lupa mereka berkata pula: "Anak kami pelit". Sementara
itu anak-anak mereka pun tak mau ketinggalan sehingga juga berkata kepada
tetangga: "Orang tua kami
cerewet." Oh, tetangga masa gitu?
Mazmur 119:37 Lalukanlah mataku dari pada melihat hal yang hampa, hidupkanlah aku dengan jalan-jalan yang Kautunjukkan!
Nah, ketika menerima pertanyaan dari ibu Hitungan, ibu Segan justru berbohong
dengan mengatakan bahwa anaknya telah memberinya banyak uang tetapi dia tidak
menyebutkan nominalnya. Karena penasaran, ibu Hitungan pun bertanya kepada
tetangganya yang lain: “Eh, apa kamu tahu ibu Segan diberi uang
berapa oleh anaknya sehingga mau-maunya mengasuh cucu-cucu mereka non stop tiap
hari?” Astaga. Tetangga oh tetangga. Kemungkinan besar orang tua zaman
dulu selalu dididik oleh orang tua mereka agar menjadikan anak sebagai tumpuan
masa depan mereka. Jika anak tidak memenuhi harapan, mereka pun memberikan
tuntutan.
Lain ladang, lain belalang. Jika pasutri Hitungan sangat berani menyatakan
pendapat kepada anak-anak mereka, pasutri Segan justru sebaliknya. Ketika masih
muda atau baru menikah, pasutri Segan tak sanggup merawat anak mereka karena
harus banting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Maka, mereka menitipkan
anak-anak mereka kepada seorang ibu pengasuh yang profesional karena sanak
saudara mereka dan orang tua mereka juga tidak mau dititipi anak-anak kecil
yang suka usil. Ketika mereka sudah bisa membeli rumah sendiri dan anak-anak
mereka telah remaja, barulah pasutri Segan mulai menjaga anak-anak mereka
sendiri.
Karena lama tak bersama, pasutri Segan selalu menuruti kemauan anak-anak
mereka dan tak pernah sanggup melarang mereka karena jika dilarang, mereka akan
marah-marah. Selain itu, mereka takut diabaikan oleh anak-anak yang diharapkan
menjadi tumpuan masa tua mereka sehingga selalu segan menyatakan pendapat
mereka. Suatu hari anak tengah mereka menikah lalu tinggal di rumah hasil kerja
kerasnya sendiri. Namun, dia menitipkan anak-anaknya kepada pasutri Segan
karena mertuanya juga tidak mau dititipi anak-anak kecil.
Karena sudah dititipkan, anak tengah seakan lepas tanggung jawab. Acapkali
anak-anaknya bermasalah, pasutri Segan akan dikomplain atau diomeli. Dia tidak
punya inisiatif untuk belajar merawat anak-anaknya sendiri. Sepulang kerja atau saat libur tiba dia
tidak mau membawa pulang anak-anaknya dan hanya datang menjenguk anak-anak
mereka sejenak lamanya. Karena dia sibuk bekerja, dia baru membawa pulang
anaknya pada malam hari setelah anaknya mulai bersekolah. Sementara itu anak
keduanya masih batita sehingga tak pernah dibawa pulang.
Padahal, merawat anak kecil amatlah melelahkan karena anak-anak kecil
sering terbangun pada jam-jam tidur sehingga pasutri Segan kurang tidur.
Anak-anak kecil juga sering buang kotoran di pampers atau celana dan harus sering digendong. Ketika mulai
berjalan dan berlari, mereka pun berlarian ke sana kemari, naik turun tangga,
mengambil dan melempar berbagai benda, serta mencoba banyak hal baru. Semua ini
amat sangat melelahkan bagi orang yang sudah berumur tetapi anak tengah
seakan-akan tidak mau tahu karena dia tampak belum sanggup meninggalkan zona
nyamannya semasa single dulu. Mungkin
pula dia masih menyimpan kepahitan masa kecil karena dulu dia pun dititipkan
kepada orang lain.
Amsal 10:1 Amsal-amsal Salomo. Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya.
0 komentar:
Post a Comment