Catatan Ibadah
ke-1 Minggu 03 September 2017
Beberapa waktu lalu seorang isteri pendeta membandingkan seorang pengusaha
dengan anaknya. Dia mengatakan bahwa anaknya itu tidak bisa apa-apa dan hanya
tampan. Oh Tuhan, mengapa dia bisa berkata-kata senegatif itu di depan beberapa
orang? Oh, andai saja dia tahu...
Seharusnya sich dia telah mengetahuinya tetapi mungkin dia lupa atau mungkinkah
dia sedang menyalurkan kepahitan hatinya yang tersimpan diam-diam?
Aku teringat beberapa bulan nan silam beberapa orang mengatakan bahwa
wanita itu tidak bisa apa-apa karena latar belakang pendidikannya tidak sesuai
dengan tuntutan kerjanya. Wanita itu selalu membanggakan prestasinya dan
menceritakan berbagai kesibukannya tetapi hasilnya belum berdampak positif bagi banyak orang sehingga dia
diperbincangkan sebagai orang sok sibuk yang tak bisa apa-apa. Beberapa orang
juga mengeluhkan sikapnya yang tidak adil karena dia sering memberi kelonggaran
aturan kepada kelompoknya.
Bahkan, ketika suaminya mulai belajar di seminari, beberapa orang pun
mengajukan pertanyaan kepadaku yang benar-benar
susah untuk kujawab. Mereka bertanya: "Calon
isteri pendeta kok seperti itu? Apa karena jablai atau jarang dibelai karena
suami harus dikarantina selama beberapa bulan? Tapi, bukankah dia harus siap?
Bukankah dia juga harus bisa jaga sikap dan jaga perkataan demi suaminya?"
Ada pula yang bertanya: "Kok dia
bisa seperti itu padahal orang tuanya merupakan majelis gereja?"
Lantas aku teringat perjumpaanku beberapa tahun silam dengan seorang anak
pendeta. Ketika dia berbicara tentang orang tuanya, mimik wajahnya dan
perkataannya menyiratkan kekecewaan terhadap mereka tetapi aku juga tidak
berusaha mengoreknya lebih jauh karena dia juga terkesan enggan membahasnya. Maka,
menanggapi pertanyaan semacam itu aku pun hanya bisa mengatakan bahwa wanita
itu memang harus jaga sikap dan perkataan tetapi mungkin dia juga belum siap. Oh Tuhan, aku ini bukan berasal dari
keluarga pendeta atau majelis gereja sehingga aku juga tidak memahami salib
yang dipikul anak atau isteri pendeta. Aku tidak bisa mengubah dunia mereka.
Ps. Philip Mantofa: "Saya tidak bisa mengubah dunia tetapi saya bisa mengubah seseorang."
Setidaknya aku bisa mengubah dunia seseorang, dimulai dari diri sendiri.
Jika berkaca pada kehidupan mereka, aku bersyukur tidak terlahir dalam keluarga
pendeta atau majelis gereja sehingga aku tidak mengalami tuntutan seperti yang
mereka alami. Meskipun demikian, dulu pada saat praktikum Biologi aku juga
pernah dibilang tidak bisa apa-apa oleh salah seorang temanku karena aku tidak
berani dites darahnya atau melakukan percobaan-percobaan lain semacam itu.
Namun, menghadapi perkataannya aku berkata: "Setidaknya aku bisa mencatat" tetapi dia membalas: "Jika hanya mencatat, setiap orang bisa
melakukannya." Namun, sebagai sesama orang muda aku juga tak mau
kalah: "Tidak semua orang bisa
mencatat. Buktinya ada beberapa teman yang selalu meminjam buku catatanku
hingga aku lupa siapa yang pinjam dan ada pula yang tidak mengembalikan
catatanku (hingga kini) ^_^"
Ah... andaikata aku serba bisa,
tentu aku tidak membutuhkan orang lain dan tentu aku tidak bisa memahami orang
lain. Iya ya... sesungguhnya setiap orang selalu menghadapi tuntutan, bukan
hanya keluarga pendeta. Namun, sebagai anak pengusaha, tentu saja aku lebih
memahami salibnya anak pengusaha pula karena kami menghadapi tuntutan yang sama
sehingga aku lebih bisa memberikan beberapa saran kepada anak pengusaha
daripada saran untuk keluarga pendeta atau majelis gereja. Selain itu,
memberikan saran kepada orang yang mengakui keterbatasannya juga jauh lebih
mudah daripada memberikan saran kepada orang yang sudah merasa bisa.
Meskipun demikian, jika kita sudah menuntut diri kita untuk selalu lebih
baik daripada diri kita yang dulu, kita pasti sanggup lha menghadapi tuntutan
orang lain pula. Tuhan selalu berkata: "Step
by step" yang berarti terus maju, tidak jalan di tempat, dan terus
memperbaiki diri setahap demi setahap. Yach, Tuhan memang tidak pernah mencobai
kita melebihi batas kekuatan kita tetapi seringkali dunia menuntut kita
melebihi tuntutan Tuhan. Untunglah aku punya perisai yang kebal terhadap
tuntutan yang melebihi batas kekuatanku. ^_^
Amsal 30:5 Semua firman Allah adalah murni. Ia adalah perisai bagi orang-orang yang berlindung pada-Nya.
ENGKAULAH
PERISAIKU
1. Engkaulah perisaiku saat badai
hidup menerpaku. Janji-Mu di dalamku, pulihkan jiwaku.
2. Engkaulah perisaiku saat badai
hidup menerpaku. Firman-Mu di dalamku, tenangkan jiwaku.
Reff:
*
Ku 'kan berdiri di tengah badai dengan kekuatan yang Kau berikan. Sampai
kapanpun ku 'kan bertahan karna YESUS selalu menopang hidupku.
**Ku
'kan bertahan dalam tekanan dengan kekuatan yang Kau berikan. Sampai kapanpun
tak tergoyahkan karna YESUS selalu menopang hidupku.
0 komentar:
Post a Comment