Catatan Ibadah ke-1 Minggu 23 Juli 2017
“Mengalahlah hingga tak seorang pun dapat mengalahkanmu. Merendahlah hingga tak seorang pun dapat merendahkanmu.”
Belajar mengalah itu sebenarnya
makan ati tapi penuh arti dan minumannya jangan teh botol sxsxo. ^_^ Suatu hari di sebuah SMP
semua siswa diwajibkan membaca puisi di depan kelas secara berkelompok. Ketika tiba
giliran kelompokku, ada seorang anggota yang lupa syairnya sehinggga tiba-tiba keheningan
mencekam seisi ruangan kelas. Aku ingat syair yang harus diucapkannya tetapi
aku masih memberinya kesempatan untuk mengingat syairnya. Karena dia tidak
berada tepat di sampingku, aku tidak bisa membisikkan syairnya.
Tik... tok... tik... tok...
menit demi menit berlalu tetapi dia tetap tidak bersuara. Wah, berapa lama lagi
kami harus menunggu? Ini bisa mempengaruhi nilai kelompok. Maka, kulanjutkan saja
syairnya supaya kelompokku bisa segera menyelesaikan pertunjukan tersebut.
Alhasil, bu guru memberiku nilai paling jelek (nilai pas-pasan) daripada semua
anggota kelompokku yang lain. Kemungkinan besar bu guru berpikir bahwa akulah
yang melupakan syairnya sehingga membuat seisi kelas menunggu dalam keheningan.
Apa aku protes? Tidak lha.
Ngapain? Menolong teman harus sampai
tuntas. Jika aku memberitahu bu guru, mungkin nilaiku akan ditambah dan
nilai temanku akan dikurangi. Lalu apa untungnya bagiku jika kehilangan teman
hanya karena nilai membaca puisi? Lagipula saat itu ada lagunya ‘Mungkin aku bukan pujangga yang pandai
merangkai kata...’ hahaha... Selain itu, dengan mendapatkan nilai membaca
puisi yang pas-pasan, setidaknya aku tak akan dipilih mewakili kelas atau
sekolah untuk mengikuti lomba baca puisi. Betul tidak? Ternyata mengalah itu
ada untungnya. Bukan hanya dua itu tetapi masih ada lagi. ^_^
Pada kesempatan lain seorang
teman mengataiku ‘maniak nilai’. Mungkin karena nilai-nilaiku jauh lebih bagus
darinya padahal IQ-ku hanya sekitar 99 sedangkan IQ-nya sekitar 120. Namun,
kata-katanya tidak berhasil menyakitiku karena aku teringat peristiwa pembacaan
puisi tadi. ^_^ Jika aku maniak nilai, tentulah tak akan kukorbankan nilaiku
demi alasan apapun. Karena tidak kuhiraukan, dia juga mengataiku cuek tetapi
aku mendiamkannya.
Suatu hari dia ditempatkan
sebangku denganku lalu dia mengajakku ngobrol padahal aku sedang menulis
sesuatu. Aku tidak menghiraukannya meskipun aku mendengar perkataannya. Lalu
tiba-tiba dia bertanya: “Apa kamu
mendengarku?” Karena tidak menyangka akan ditanya seperti itu, aku
buru-buru mengiyakan. Ini reaksi... hehehe... Eh, dia langsung kembali
bertanya: “Kalau begitu, coba ulangi apa yang kukatakan tadi.” Hah!
Dengan panik aku bertanya di dalam hati: “Oh
Tuhan, dia tadi mengatakan apa ya?” Ini respon.
Seketika itu juga ingatanku
pulih lalu kuulangi perkataannya di depannya. Dia pun terpana olehku sehingga
berkata: “Hebat. Kamu sedang menulis
tetapi masih bisa mendengarkan semua perkataanku.” Hahaha... ya...
iyalah... otakku memiliki beberapa prosesor. Hehehe... ahli-ahli menjawab
seperti itu, aku pun hanya tersenyum dan membatin: “Untung aku ingat tepat pada waktunya. Jika tidak, tentulah aku sudah
mengecewakannya. Sekalipun dia suka usil karena dengan kepintarannya dia tak
perlu belajar keras, aku harus mendengarkannya karena aku pun ingin
didengarnya.”
Lukas 6:31 Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Namun, sekalipun kita
mendengarkan orang lain, ternyata mereka juga belum tentu mau mendengarkan
kita. Suatu hari dia bau rokok dan aku menegurnya tetapi dia malah berkata: “Jangan cerewet”. Ya sudah, terserah.
Itu pilihanmu. Kata orang bijak: “Sekalipun niat baik kita tidak dihargai,
tetaplah berbuat baik.”
Sementara itu teman lain yang tidak
menduduki peringkat 10 besar di kelas berkata: “Wow... IQ-ku sama denganmu padahal kamu masuk peringkat 5 besar.”
Dengan santai kujawab: “Jika kamu mau
belajar, kamu pun bisa sepertiku atau melebihiku atau bahkan melebihi mereka
yang ber-IQ lebih dari 120.”
Oh, andai saja orang-orang
ber-IQ tinggi tidak malas, tentulah bangsa ini sudah semakin baik karena
kulihat banyak orang yang lebih pintar dariku tetapi sayangnya mereka terjebak
di zona nyaman dan ada pula yang tega memanfaatkan kepintarannya untuk
mengambil keuntungan dari orang lain. Ironinya, di sisi lain juga masih banyak
orang bodoh yang sok pintar sehingga sudah berhenti belajar sebelum tutup usia.
Sayang sekali.
~ SI PATOKAAN (versi asli) ~ Sayang sayang, Si Patokaan. Mantego-tego
gorokan Sayang. Sayang sayang, Si Patokaan. Mantego-tego gorokan Sayang. Sako
mangemo tanah man jauh, Mangemo milei lek lako Sayang. Sako mangemo tanah man
jauh, Mangemo milei lek lako Sayang.
~ SI
PATOKAAN (versi bahasa Indonesia)
~ Wahai sayangku, Si Patokaan. Orang-orang yang pucat dan berjalan
terseok-seok, Sayang. Wahai sayangku, Si Patokaan. Orang-orang yang pucat dan
berjalan terseok-seok, Sayang. Jika kau pergi ke tanah yang jauh, Maka pergilah
dengan hati-hati, Sayang. Jika kau pergi ke tanah yang jauh, Maka pergilah
dengan hati-hati, Sayang.
0 komentar:
Post a Comment