Sunday, December 6, 2015

Pendeta Juga Manusia

Yerusalem Baru
Catatan Ibadah ke-2 Minggu, 6 Desember 2015

Setelah melewati semester 1 (tahun 2001) setiap mahasiswa di tempatku bebas memilih mata kuliah, kelas, dan jadwal kuliah yang ingin diikuti. Pendaftaran dilakukan pada awal semester secara online dan setiap kelas sudah ada jatah tempat duduknya. Bila kita kehabisan jatah tempat duduk karena kurang cepat dalam pendaftaran online, kita harus mengganti jadwal pilihan kita dengan kelas lain yang masih tersedia atau menghadap petugas yang terkenal ‘sulit’.

Suatu ketika aku ingin mengambil mata kuliah ‘A’ dengan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya tetapi sistem komputer tidak menerimaku karena semua kelas sudah penuh. Jika aku tidak mengambilnya pada semester tersebut, kuliahku bisa tertunda 1 semester karena mata kuliah tersebut menjadi salah satu syarat pengambilan mata kuliah lain. Maka dari itu, aku terpaksa mengambil mata kuliah ‘A’ yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantarnya.

Kelas semacam ini tidak banyak diminati. Kebanyakan mahasiswa lebih memilih menunda pengambilan mata kuliah tersebut atau menghadapi petugas yang ‘sulit’ demi mendapatkan kelas dengan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. Maka, tidaklah mengherankan bila satu kelas hanya diisi oleh sekitar 30 orang. Namun, sedikitnya peserta tak menghilangkan gaya mengajar si dosen. Setiap pertemuan selalu diisi dengan presentasi kelompok dan tanya jawab. Dengan jumlah mahasiswa yang sedikit, satu kelas pun tetap dibagi ke dalam beberapa kelompok sehingga 1 kelompok hanya terdiri dari 3 orang.

Suatu hari tibalah giliran kelompokku yang harus presentasi. Slide presentasi sudah disiapkan dan temanku pun mulai mempresentasikan hasil diskusi kami dengan membaca slide. Dosen itu pun marah dan berkata: “don’t read, use your words.” Karena merasa tak mampu, dia serahkan slide kepada temanku yang lain.

Lalu temanku mulai mengulang presentasi dengan sesekali membaca slide yang kami siapkan. Kali ini dosennya semakin marah: “sudah saya katakan ‘jangan membaca’, gunakan kata-katamu sendiri.” (sambil merebut slide dari tangan temanku dan melemparkan semua buku dan slide kami ke lantai di depan semua mata yang memandang kami)

Selanjutnya, tanpa pegangan apapun, dengan bahasa Inggris tingkat dasar yang terbata-bata aku pun mengulang presentasi kami. Kemudian dia bertanya kepada para mahasiswa yang memperhatikan kami: “Lebih jelas yang mana? Bukankah ini lebih jelas daripada yang tadi?” Lantas semua mahasiswa serempak menyetujui hal tersebut. Di dalam hati aku berkata: “Jelas saja semua setuju karena semua takut melihatmu marah. Kalau ada yang tidak menyetujuimu, pasti kamu lebih marah lagi.”

Pemuridan bagi Yesus
Beberapa hari kemudian seorang teman bercerita kepadaku:
Teman: “Dosen mata kuliah ‘A’ itu adalah pendeta di gerejaku.”
Aku: “Hah! Masa sich? Kalau dia pendeta, masa kelakuannya begitu? Masa pendeta suka marah-marah? Tidak sopan lagi. Mana pantas melemparkan buku-buku kelompokku ke lantai di depan banyak mahasiswa?”
Teman: “Beneran. Dia itu pendeta muda. Aku juga tidak suka kepadanya. Kalau aku mengetahui dia yang berkhotbah, aku pasti tidak jadi mengikuti ibadah.”

Waktu pun terus bergulir hingga tiba masa perpisahan dengan dosen mata kuliah ‘A’ yang juga menjadi pendeta muda. Satu kelas pun urunan untuk mengadakan pesta perpisahan dan memberikan cendera mata kepadanya karena dia terkenal sebagai orang yang ingin dihargai. Karena telah menjadi bagian dari kelas tersebut, suka tidak suka, aku pun ikut urunan tetapi sudah kuputuskan untuk tidak mengikuti pesta perpisahan.

Aku pun beralasan tidak bisa ikut pesta perpisahan karena tidak ada yang mengantarku. Maka, ketua kelas menawarkan diri untuk menjemputku. Namun, aku betul-betul enggan bertemu dengan dosen tersebut sehingga aku tetap menolaknya dengan alasan aku harus jaga rumah karena penghuni rumah lainnya sedang pergi. Hehehe... dia pun percaya dan tidak memaksaku lagi.

Beberapa hari kemudian aku tak sengaja berpapasan dengan dosen tersebut tetapi kami tidak saling bertegur sapa. Entah dia mengingatku, entah tidak, tetapi aku tak mau berurusan lagi dengannya. Maaf pak, kalau kamu ingin dihargai, belajarlah untuk menghargai orang lain dan aku akan mengubur dalam-dalam semua kenangan pahit di bawah pengajaranmu.

Tahun 2014 di tempat kerja aku berkenalan dengan seorang konsultan pajak yang mengatakan bahwa bosnya adalah si dosen ‘A’ tadi. Rupanya selain menjadi pendeta dan dosen, dia juga memiliki perusahaan konsultan. Lantas si konsultan mengatakan bahwa dia akan bertanya kepada bosnya: “masih ingat aku atau tidak” tetapi aku buru-buru mencegahnya dengan menceritakan alasannya. Dia pun tertawa dan mengatakan bahwa dia hanya bercanda karena sesungguhnya dia pun tidak berani bicara dengan bosnya.

Beberapa bulan kemudian aku pun pindah kerja dan tidak lagi mendengar kabar tentang pendeta tersebut. Ketika aku bercerita kepada 2 teman Kristen perihal peristiwa itu, salah satu teman berkata: “Pendeta juga manusia.” Hehehe... iya... ya... pendeta juga manusia yang tak luput dari salah. Dulunya kupikir pendeta itu semacam tokoh fiksi pembela kebenaran yang tak pernah salah. Hahaha... kebanyakan nonton film fiksi sich.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.