Sunday, August 28, 2016

Menang Perang dengan Menahan Diri

Catatan Ibadah ke-1 Minggu 28 Agustus 2016

Dahulu kala pada suatu hari ada seorang pimpinan yang marah karena aku mengizinkan pihak marketing merevisi harga dengan dalih pelanggan mengajukan penawaran dan kebetulan marginnya memang masih tinggi (di atas 30%) dan sudah ada persetujuan dari pimpinan marketing. Dia berkata: "Margin itu urusan bos. Terserah bosnya mau margin berapa. Kalau bos minta di atas 30%, kita tidak berhak mengubahnya. Bayangkan kamu bekerja di sebuah toko dan bos sudah tentukan harga jualnya. Mana boleh kamu menurunkan harga jual tersebut tanpa seizin bos? Kamu tidak tahu bagaimana proses costing di sini. Bisa rugi kalau margin diturunkan tanpa seizin bos."

Ah... aku ingin bicara untuk membela diri tetapi Roh Kudus berkata: "Haruskah kamu mengibarkan kain merah di depan banteng yang mengamuk?" Wew... akhirnya aku hanya mengangguk-anggukkan kepala dan berkata: "iya pak... iya pak... iya pak..."

Padahal, aku ini ingin mengatakan bahwa sekalipun di sini aku karyawan, di tempat lain aku ini anak pemilik toko. Ah, seharusnya dia tidak menggunakan toko sebagai dalih karena toko itu beragam keputusannya dan justru amat fleksibel dalam harga jual. Seharusnya dia gunakan supermarket yang tidak memungkinkan tawar menawar harga jual. Aku ini ya sudah terbiasa membantu papa berjualan di toko. Papaku justru marah-marah kalau aku selalu bertanya: "harga jualnya berapa?" karena dia sudah memberitahu cost-nya. Aku bebas menentukan marginnya asalkan tidak sampai rugi dan juga tidak menjual terlalu tinggi.

Papaku selalu mengatakan bahwa margin yang terlalu tinggi bisa membuat pembeli kabur. Namun, atasanku ini berbeda. Sebagai orang keuangan tampaknya dia ingin menetapkan batasan margin tinggi secara kaku sedangkan orang marketing bersikap fleksibel demi mempertahankan pelanggan. Maka, pimpinanku berkata: "Ini harus saya mintakan persetujuan bos". Namun, bos mengatakan bahwa hal tersebut akan ditangani oleh anaknya tetapi anaknya masih di luar negeri. Dengan demikian, pimpinan berkata kepadaku: "Ini ditahan dulu... tunggu keputusan dari anak bos. Kalau anak bos tidak setuju, harganya harus dikembalikan lagi."
Mazmur 119:36 Condongkanlah hatiku kepada peringatan-peringatan-Mu, dan jangan kepada laba.
Karena papaku yang non-Kristen tidak terlalu berfokus kepada margin tinggi tetapi berfokus kepada perputaran kas dan kepuasan pelanggan, aku pun yakin bosku dan anaknya yang Kristen juga akan sependapat dengan itu (yang penting bisa laba dan jangan sampai perusahaan kehilangan pelanggan karena menetapkan harga secara kaku). Selain itu, aku yakin bosku dan anaknya yang telah Kristen sebelum aku pasti sudah pernah mendengar Mazmur 119:36.

Ah, kelihatannya sich pimpinanku marah kepada pimpinan marketing  tetapi dia tak bisa memarahinya sehingga aku yang kena semprot karena meloloskan keputusan pimpinan marketing. Waduh... lama-lama aku ini jadi bingung. Mengapa ada orang yang diberi wewenang menetapkan harga tetapi tidak diberi wewenang merevisi harga? Wewenangnya sejauh mana sich? Apa semua hal harus ditangani bos? Apa gunanya bos punya banyak karyawan kalau semua hal harus ditangani bos? Kasihan pula bosnya. Bagaimana bos bisa menangani hal-hal besar jika semua hal kecil pun harus ditanganinya? Sistem prosedur yang benar seperti apa sich?

Andai aku bosnya, aku pilih seperti papaku: "Jangan tanya-tanya terus. Margin sudah kutetapkan minimal dan maksimal sekian persen. Kamu atur sendiri lha asalkan tidak merugikan perusahaan." Yang terpenting bos tetap mengecek laporan secara periodik dan sesekali perlu blusukan ala Jokowi biar tidak tertipu beberapa karyawan tertentu yang sibuk cari kambing hitam untuk mengamankan posisi. Namun, di sini aku bukan bosnya dan tidak kenal langsung dengan bos atau anak bos sehingga aku pun meminta bantuan Tuhan untuk mempengaruhi keputusan anak bos. "Oh Tuhan, tolonglah aku agar bos atau anak bos mendukung keputusanku. Pengaruhilah dia dan selamatkanlah aku dari pimpinan."

2 Samuel 22:7 Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada TUHAN, kepada Allahku aku berseru. Dan Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong masuk ke telinga-Nya.

Beberapa hari kemudian aku kembali bertanya kepada pimpinan: "bagaimana keputusannya?" Dengan marah dia berkata: "Tunggu! Belum ada jawaban dari anak bos. Nanti kalau sudah ada, akan saya sampaikan." Di depan meja kerjaku aku pun kembali berdoa: "Oh Tuhan, tolong minta anak bos segera mengambil keputusan yang memihakku agar aku bisa tenang kembali dan pimpinan tidak marah-marah lagi hari lepas hari." Beberapa jam kemudian dengan ekspresi marah pimpinan pun menyampaikan bahwa anak bos setuju dengan yang kulakukan. Namun, lain kali jika pihak marketing mau merevisi harga jual, mereka harus meminta persetujuan dulu kepada bos atau anak bos.
Amsal 21:1 Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini.
Hahaha... meskipun pimpinan masih marah, aku bahagia karena Tuhan kabulkan pintaku. Seketika itu juga aku ingin menelepon anak bos dan berkata: "Terima kasih ko, kamu sungguh mengerti aku. Terima kasih sudah mendukung keputusanku." Namun, aku tak punya nomer teleponnya sehingga aku pun tersadar bahwa anak bos mendukungku karena Tuhan sehingga aku berkata: "Oh, terima kasih Tuhan. Sekali lagi Kau kabulkan pintaku... hahaha... kamsya Bapa. Engkau sungguh mengerti aku."

TUHAN TAK PERNAH GAGAL
Engkau yang lebih tahu Cara untuk membuka jalanku. Engkau lebih mengerti Cara untuk menolong hidupku.
Reff: Kupercaya Kau Tuhan yang tak pernah gagal Menjadikanku lebih dari pemenang. Kupercaya Kau Tuhan yang tak pernah lalai Menepati janji-janji-Mu.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.