Sunday, August 28, 2016

Menang Perang dengan Menjadi Kurban Penebus Salah

Catatan Ibadah ke-1 Minggu 28 Agustus 2016

Pada kesempatan yang lain aku kembali dimarahi pimpinan karena mengubah sesuatu tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Padahal, sebenarnya sebelum mengubah sesuatu aku pun sudah bertanya kepada pengajarku. Namun, siapa sangka pengajarku malah menjerumuskan aku karena tampaknya dia sendiri tidak memahami masalah tersebut sehingga akhirnya dia memintaku belajar sendiri dengan dalih bahwa dulunya dia juga belajar sendiri karena tidak ada yang mengajari.

Ouch, sungguh aneh. Jika dia memang sudah belajar sendiri, tentulah dia bisa mengajariku. Namun, kenapa dia tidak bisa mengajariku? Kenapa menyuruhku belajar sendiri? Kenapa dia tidak berterus terang saja bahwa dia tidak mau mengajariku? Apa informasi yang kudapat dari seorang teman memang benar bahwa sedari awal aku di sana dia dan beberapa orang lainnya iri kepadaku untuk suatu alasan yang tidak bisa kumengerti? Iya... ya... jika seseorang merasa iri hati, pikiran pun tak lagi jernih. Rumput tetangga pun selalu terlihat lebih hijau daripada rumputnya sendiri. Ah, kalau saja mereka mengetahui semua badai yang telah kulalui, masihkah mereka iri dengan yang kumiliki?

Alhasil, pimpinan memarahiku. Keadaan itu diperparah oleh kondisi pengajarku yang pelupa karena sudah cukup sepuh sehingga dia berlagak tidak tahu apa-apa. Bahkan, dia berkata: "lain kali kalau ada sesuatu yang di luar kebiasaan, tanya aku dulu agar tidak lagi terjadi hal seperti ini." Aku pun hanya menganggukkan kepala dan berkata: "iya bu" padahal darahku mendidih dan rasanya ingin berkata: "Aku sudah pernah bertanya kepadamu dan kamu menyetujuinya tetapi kamu pasti bilang lupa seperti biasanya. Jadi, percuma saja aku bertanya padamu. Ah, lain kali aku akan langsung bertanya kepada pimpinan saja seperti yang disarankan temanku yang telah difitnah oleh beberapa orang di sini."

Tak lama berselang teman pimpinan turut menanyaiku tetapi aku tetap membiarkannya salah paham karena aku tahu dia pasti menyampaikan perkataanku kepada pimpinan dan aku malas berdebat dengan orang sepuh. Alhasil, dia turut menghakimiku dengan mengatakan bahwa aku ini kaku seperti robot. Namun, di sisi yang lain dia memintaku untuk bertanya dulu setiap kali terjadi sesuatu yang di luar rutinitas.

Uwah... aku jadi semakin bingung. Hatiku pun bertanya-tanya. Siapa yang robot? Robot tidak mungkin bisa mengambil keputusan sendiri ketika sesuatu terjadi di luar perintah. Kalau seseorang diberi jabatan tanpa wewenang mengambil keputusan, itu baru bisa disebut robot yang kaku. Contoh: Di suatu tempat terjadilah kebakaran tetapi orang-orang yang diberi jabatan tidak pernah mendapatkan petunjuk bos untuk mengatasi masalah tersebut. Karena belum pernah ada pemberitahuan, untuk menyelamatkan diri haruskah dia meminta persetujuan bos terlebih dahulu sebelum memecahkan kaca jendela? Kalau robot, pasti harus minta persetujuan bosnya dulu. Iya kan?
Markus 15:4-5 Pilatus bertanya pula kepada-Nya, katanya: "Tidakkah Engkau memberi jawab? Lihatlah betapa banyaknya tuduhan mereka terhadap Engkau!" Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawab lagi, sehingga Pilatus merasa heran.
Diam Saja
Karena teringat ayat tersebut, aku pun hanya bisa berkata: "Iya ce. Terima kasih atas sarannya. Lain kali aku akan bertanya dulu." Namun, sesungguhnya aku sudah enggan bertanya kepada pengajarku yang selalu takut kepada pimpinan. Lebih baik aku belajar sendiri saja karena hasilnya toh sama saja. Diajari atau tidak diajari tetap saja aku bisa dimarahi pimpinan karena yang mengajar lupa-lupa ingat. Setidaknya aku akan merasa lebih lega jika dimarahi karena memang bersalah daripada dimarahi karena dijadikan kambing hitam.

Karena dalam kasus ini aku merasa tidak bersalah, aku ini ya jengkel. Aku ini juga ingin marah tetapi dilarang Roh Kudus. Alhasil, aku segera duduk di toilet sembari bertanya: "Oh Tuhan, aku ini salah apa? Pengajarku itu memang lupa kalau aku sudah pernah bertanya kepadanya atau dia hanya pura-pura lupa? Mengapa aku harus bekerja sama dengan pengajar yang pelupa dan pimpinan yang pemarah? Mengapa Kau tidak izinkan aku pindah saja dari sini? Aku capek Bapa. Mengapa pula Kau biarkan diriku dihakimi oleh pimpinan? Apa salahku?"

Setelah kembali dari toilet aku segera membuka Facebook karena emosiku sedang tak memungkinkanku untuk bekerja. Eh, seketika itu juga aku melihat jawaban Tuhan lewat tulisan Julianto Simanjuntak yang berjudul: "Apa Salahku?"

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.