Catatan Ibadah ke-3 Minggu, 3 Januari 2016
JIKA AKU MENJADI
Malam tak bertuah, siang tanpa pesan.
Sinisnya hari menyapa diriku.
* Manusia biasa mungkin tak ‘kan
sanggup merenangi nasib gelap gulita. Bentangkan hatiku Tuhan, peluk aku. Cinta
sahabat menafkahi jiwa.
Reff: Jika aku menjadi seperti yang lain
hidup bercahaya, mungkin saja aku kehilangan rasa syukur, tak tersenyum dalam
damai. Coba kau jadi aku, sanggupkah bernafas tanpa udara. Namun, kunikmati
nasib dan takdir hidup ini bila Tuhan yang mau.
Repeat *. Repeat reff
Jika aku menjadi
berubah melawan garis yang tertulis, bukannya Tuhan tidak mendengar doa kita
tapi Ia tahu yang terbaik. Jika aku menjadi...
Ketika tangan kananku
sakit hingga tak sanggup menulis, mengetik, dan menggerakkan mouse. Seketika itu juga aku tinggalkan
profesi akuntan dan mencoba beralih
profesi. Aku pun browsing peluang
kerja online dengan tangan kiri hingga aku menemukan sebuah situs yang menarik perhatianku. Di
sana tertulis bahwa ibu pemilik situs akan mengajarkan
suatu peluang kerja di rumah dan setiap orang bisa mempelajarinya.
Karena penasaran, aku pun
mendaftar di situs tersebut. Selanjutnya aku pun janji bertemu dengan ibu
pemilik situs tersebut di sebuah hotel untuk mengikuti semacam seminar bisnis.
Dari pertemuan tersebut aku pun mengetahui bahwa peluang kerja yang ditawarkan
adalah sebuah peluang menjual jus nutrisi sehat untuk diet dengan
sistem direct selling (penjualan
langsung) tetapi ada kemiripan dengan multi
level marketing.
Hmmm... karena masih
pengangguran dan ada sisa uang dari hasil kerjaku sebagai akuntan, kupikir tak
ada salahnya mencoba. Hal pertama yang diajarkan upline-ku adalah membagikan brosur nutrisi sehat bergambar orang
gemuk yang menjadi kurus. Mulai sekitar pertengahan Maret 2009 setiap hari aku
pun harus membagikan ratusan brosur tersebut di setopan lampu merah agar bisa
sukses seperti dia.
Oh... karena aku tak terbiasa melakukan hal ini,
aku pun ditemani oleh adik sepupunya. Kami pun diantar dan diturunkan di
setopan lampu merah Diponegoro. Ketika lampu menyala merah, kami segera
membagikan brosur kepada pengendara mobil dan motor yang ada di sana.
Bila ada mobil yang
kacanya tertutup, kami segera mengetuknya agar pengemudi mau membuka kaca
mobilnya. Lalu kami pun segera memberinya brosur dengan berkata: "ini
info sehat". Selanjutnya, kami bergegas kembali ke tepi jalan
ketika lampu mulai menyala kuning. Lantas kami menunggu hingga lampu lalu
lintas kembali menyala merah.
Beberapa jam kemudian
kami baru dijemput upline dan diajak
makan olehnya sembari menunggu ditelepon oleh penerima brosur. Namun, upline berpesan agar aku tidak menyerah
bila belum ada yang menelepon. Dia pun membutuhkan
waktu bertahun-tahun lamanya untuk bisa sukses menjual dengan cara
tersebut.
Maka, hari-hari
selanjutnya aku pun tetap melakukan hal yang sama. Ketika menunggu lampu merah
menyala, adik sepupunya bercerita bahwa dia tidak ikut bisnis tersebut. Dia
hanya membagikan brosur upline dengan
dibayar Rp900.000,- per bulan. Oalah... ternyata kesulitan ekonomi bisa membuat seseorang mau dibayar di bawah UMR (Upah
Minimum Regional).
Suatu hari di setopan
lampu merah yang sama aku bertemu tetanggaku (pak Imam sekeluarga) ketika
sedang membagikan brosur. Alamak... senyum
aja dech... hehehe...
0 komentar:
Post a Comment