Catatan Ibadah ke-2 Minggu, 30 Agustus 2015
Disuntik... inilah salah satu derita si
sakit. Sudah sakit, masih disakiti lagi. Ketika paha tertimpa pecahan kaca dan
darah mengalir deras, hal pertama yang perawat lakukan adalah membersihkan luka
yang terasa menyayat hati... sakitnya emang di paha tapi rasanya ikut nyasar di
hati.
Lalu dia mengambil jarum suntik berisi obat bius
yang hanya sanggup kulihat dengan mata tertutup. Jarum nan kurus itu segera
menembus kulitku dengan menorehkan rasa sakit yang tersimpan di hati. Rasanya
waktu berjalan dengan amat lambat tetapi tak lama berselang luka itu mulai
dijahit. Jahitan demi jahitan terasa mencekam hingga Aaahh... "Oh maaf, saya tambahkan obat
biusnya... sebentar lagi selesai... kurang 1 jahitan lagi kok..." lalu
dia segera membubuhkan kapas yang telah diberi obat bius sembari terus
melanjutkan jahitannya.
Ah... mengapa efek obat bius habis sebelum
jahitan selesai? Kuharap itu pertama dan terakhir kalinya. Namun, ketika
dilakukan operasi pengangkatan benjolan dari dahi (lipoma) di rumah sakit lain dengan dokter dan perawat yang lain,
hal yang sama terulang kembali. Aaah... "Oh
maaf, saya tambahkan obat biusnya... sebentar lagi selesai... kurang 1 jahitan
lagi kok..." lalu dia segera membubuhkan kapas yang telah diberi obat
bius sembari terus melanjutkan jahitannya.
Wew... apa yang salah? Mereka lambat dalam
bekerja atau tubuhku membutuhkan obat bius lebih banyak daripada standar yang
telah ditetapkan? Oooo... bayangkan saja... sudah sakit... masih ditambahi
sakit... barulah bisa sembuh.
Oleh karena itu, aku tak suka ke dokter. Aku
hanya ke dokter bila terpaksa. Suatu hari aku demam dan selalu muntah ketika
makan tetapi aku enggan ke dokter karena pasti disuntik untuk tes darah. Tanpa
tes darah dengan jarum suntik, tentulah dokter tak bisa memberikan pengobatan
yang tepat. Namun, ketika badanku mulai lemas dan terasa menggigil karena tak
ada asupan energi, mau tak mau ke dokter juga.
Dokter pun memeriksa dan mengetahui bahwa
sebenarnya aku enggan ke dokter sehingga dia berkata: "Dokternya tampan begini kok tidak mau bertemu?" Tak lama
berselang dilakukan tes darah dengan disuntik pastinya. Ternyata gejala tipes
dan harus opname karena tidak bisa makan. Lantas disuntik lagi untuk pasang
infus lalu dilakukan tes obat sebelum disuntikkan dan rasanya tangan ini amat
sakit seperti terbakar. Wew...
Setelah disuntik dan disuntik obat selama
beberapa hari... barulah sembuh. Di dalam hati aku hanya berkata: "Hmmm... aku tidak membutuhkan dokter
tampan. Aku membutuhkan dokter yang bisa
menyembuhkan sakit tanpa rasa sakit." Namun, sayangnya hingga kini
aku belum menemukan dokter semacam itu.
Namun, semua rasa sakit tak seberapa bila dibandingkan
rasa sakit yang harus kutanggung selama mengalami TBC kelenjar getah bening.
Selain merasakan sakit akibat penyakit itu, tiap hari masih harus minum obat,
dan tiap minggu harus disuntik selama sekitar 6 bulan lamanya. Aduh... kala itu
aku hampir menyerah tetapi pada saat itulah kupandang salib Yesus dan kuasa
salib-Nya bekerja.
2 Korintus 12:9-10 Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.
Kuasa salib Kristus benar-benar bagaikan obat pengurang rasa sakit yang diberikan tanpa rasa sakit (tanpa jarum suntik) ...hehehe... Alhasil, beberapa orang memuji si lemah ini sebagai orang yang kuat dan si penakut ini sebagai pemberani... hehehe... Tuhanlah kekuatanku. Beberapa hari lalu aku pun tersiksa karena sakit tenggorokan. Aduh... kenapa berulang kali jatuh ke lubang yang sama sich?
Sakit lagi... sakit lagi... capek dech.
Ooo...
tampaknya iblis mengetahui kelemahanku akan rasa sakit sehingga dia
selalu berusaha menjatuhkanku di area ini. Awas kau iblis... imanku akan
bertumbuh karena kasih karunia Tuhan melimpah atasku.
Roma 8:31 Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?
0 komentar:
Post a Comment