Sunday, August 30, 2015

Lebih Baik Sakit Hati daripada Sakit Gigi

Catatan Ibadah ke-2 Minggu, 30 Agustus 2015

Ketika pak Sukirno sedikit membahas tentang sakit giginya, aku teringat sebuah lirik lagu yang sempat hits di bumi pertiwi: "daripada sakit hati lebih baik sakit gigi ini... biar tak mengapa... rela... rela... rela... aku relakan..." Hmmm... aku sich tak rela karena sakit gigi itu lebih sakit daripada sakit hati lho.

Jika sakit hati, biasanya diobati dengan berdoa, membaca firman Tuhan, mendengarkan nyanyian Surga, menyimak khotbah pendeta, memperoleh penghiburan dari teman atau sanak saudara, dan membaca berbagai kisah inspiratif penguat hati. Semua cara itu bisa membuat rasa sakit hati semakin berkurang. Namun, berbagai sakit jasmani seringkali diobati dengan cara yang menyakitkan pula. Bayangkan, sudah sakit... masih ditambahi sakit.

Derita Si Manis Pencuri Permen Manis

Ketika masih balita, aku suka permen. Karena di toko ortu ada permen, tentu tak sulit bagiku untuk diam-diam menyembunyikan setoples permen. Ehm... rasa manisnya sungguh pas di lidah si kecil. Karena si kecil suka yang manis-manis seperti orangnya dan tidak suka menggosok gigi, alhasil si kecil pun sakit gigi... hiks... hiks... hiks... uwaah... sakitnya minta ampun.

Akhirnya si kecil pun dibawa ke dokter gigi. Di sana si kecil diminta menggigit kapas yang telah diberi obat bius. Tak lama kemudian gigi susunya segera dicabut... siipp... gigi tanggal, sakit pun menghilang. Karena masih gigi susu, si kecil tidak merasa sakit saat gigi itu dicabut. Makan permen lagi... lagi... lagi... dan lagi... akhirnya si kecil sudah beberapa kali ke dokter gigi dan beberapa kali giginya dicabut.

Nah..., ketika gigi susu telah beranjak dewasa, cabut gigi mulai terasa menyakitkan. Bau rumah sakit mulai melekat dalam ingatan dan dokter pun mulai terlihat seperti hantu... hiii... Ketika gigi semakin dewasa, cabut gigi merupakan suatu pengalaman yang dramatis. Dokter harus menggunakan jarum suntik untuk memasukkan obat bius pada gusi supaya mati rasa. Setelah itu dokter mengeluarkan berbagai peralatan aneh untuk mencabut gigi. Aaaah... sakit... air mata pun bercucuran membasahi pipi.

Dokter kebingungan: "Masa masih sakit? Saya sudah tidak boleh menambahkan obat bius lagi karena berbahaya bila melebihi dosis. Mungkin kamu hanya ketakutan melihat peralatan yang saya bawa. Pejamkan mata saja." Aaaahhh... meskipun mata terpejam, pergerakan alatnya masih terasa... tes... tes... tes... air mata pun semakin tak terbendung.

Kenikmatan Sesudah Penderitaan
Beberapa menit kemudian gigi selesai dicabut dengan meninggalkan rasa tak nyaman di dalam mulut. Kapok dech aku... kapok nggak ilok (jera dech aku... amat jera)... jangan sampai hal ini terulang kembali. Mulai saat itu kusadari jahatnya si manis dan pentingnya menggosok gigi. Hehehe... seandainya aku tak pernah sakit gigi, mungkin aku telah kehilangan semua gigiku ketika masih muda belia sehingga lagu Burung Kakaktua bisa menjadi begini:
"Burung kakaktua hinggap di jendela. Gadis masih muda, giginya tanggal semua. Trek-jing ... trek-jing ...Trek-jing hiks-hiks-hiks. Trek-jing ... trek-jing ...Trek-jing hiks-hiks-hiks. Trek-jing ... trek-jing ...Trek-jing hiks-hiks-hiks. Burung kakaktua."

Oh... rasa sakit emang ada gunanya juga. Namun, alangkah enaknya bila kita bisa menyadari semua itu tanpa mengalami sakit terlebih dulu.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.