Suatu ketika Dermawan meminjamkan uang kepada teman barunya yang bernama Silap sebesar Rp500.000,- Pada saat ditagih temannya malah berkeluh kesah tentang jumlah pengeluarannya yang jauh lebih besar daripada pemasukannya.
Bahkan, temannya merincikan seluruh pemasukan dan pengeluarannya dengan detail. Temannya pun beralasan bahwa:
* gajinya belum dinaikkan meskipun Upah Minimum Kabupaten naik karena dia masih belum lama bekerja di sana.
* kabarnya kenaikan gajinya nanti juga hanya 8% padahal inflasi 7%.
* dia harus membeli obat untuk papanya yang sakit.
* bulan depan suaminya pun sudah tidak bekerja. Dia akan meminta kepada mamanya tetapi mamanya pasti akan terus menerus mengeluhkan hal itu.
Jadi, dia yang harus membayar biaya listrik, air, kesehatan, persepuluhan, dan berbagai kebutuhan hidup sekeluarga.
Bila Dermawan meminta Rp500.000,-nya dikembalikan, dia akan semakin berkekurangan karena banyak kebutuhannya yang belum terpenuhi. Dia pun merinci kebutuhannya di musim penghujan yang belum terpenuhi, seperti payung, jas hujan, dll.
Alhasil, Dermawan tak tega mendengar curahan hatinya. Lantas dia tidak jadi meminta Rp500.000,- dan menghiburnya: "Sabarlah dan tetap kencangkan ikat pinggangmu. Semua akan indah pada waktunya. (Pengkhotbah 3:11)
"Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir." (Pengkhotbah 3:11)
Ketika mendengar respon Dermawan, Silap merasa senang tetapi bukan karena firman yang Dia dengar dari Dermawan, melainkan karena dia belum perlu membayar hutangnya. Jauh di dalam lubuk hatinya Silap berkata: "Mudah saja dia bicara karena dia tidak mengalaminya."
Padahal, Dermawan pun pernah mengalami kesulitan keuangan seperti Silap. Kala itu Dermawan terus menerus mendeklarasikan firman hingga kenyataan berubah seturut imannya. "— sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat —" (2 Korintus 5:7)
Namun, Silap tidak mau mempercayai firman tersebut. Kemudian Silap menceritakan semua perbincangannya dengan Dermawan kepada Pemurah. Lantas Pemurah ikut tergerak hatinya dan memberikan pinjaman pula kepada Silap. Hal semacam ini pun dia lanjutkan sehingga dia memperoleh beberapa pinjaman dari pihak-pihak lain.
Dengan demikian, penghasilan Silap semakin bertambah dari pinjaman-pinjaman yang didapatkan dari banyak orang yang merasa iba dengan segala keluh kesahnya. Karena penghasilan bertambah, pengeluarannya ikut bertambah sehingga tiap kali ditagih Silap tak pernah bisa membayar hutangnya. Dia pun selalu menyajikan beban hidupnya sambil berlinang air mata.
Cerdik pun bertanya-tanya:
"Mengapa Silap tak bisa hidup tanpa berhutang?
"Apakah pemasukan Silap memang jauh lebih kecil daripada kebutuhan hidupnya?
"Apakah semua beban hidupnya nyata adanya?
"Apakah dia memang harus membeli obat untuk papanya?
"Bukankah dulu Dermawan pernah sakit hingga tak bisa bekerja tetapi tetap bisa tak berhutang?
"Apa saat itu Dermawan punya sumber keuangan lain yang tak kuketahui?
Karena penasaran, Cerdik mulai menyelidiki Silap dan pada akhirnya dia mengetahui bahwa Silap hanya membohongi Dermawan, Pemurah, dan teman-teman lainnya untuk memuaskan keinginan pribadinya. Ternyata selama ini uang pinjaman yang diterima Silap hanya dipakai untuk ke klub-klub malam.
Fiuh... sejak saat itu Dermawan dan Pemurah menjadi semakin berhati-hati dalam menghadapi tetesan air mata Silap dan tak ada lagi yang mau memberikan pinjaman kepada Silap. "Semoga saja Silap mau belajar 'mengencangkan ikat pinggang' dan mencukupkan dirinya dengan pemasukan yang ada."
0 komentar:
Post a Comment