Sunday, March 26, 2017

Seperti Biasa Aku Diam Tak Bicara

Catatan Ibadah ke-1 Minggu 26 Maret 2017
1 Korintus 13:11 Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.
Masa kanak-kanak terasa lebih indah daripada masa dewasa. Dulu ketika aku masih pekerja kanak-kanak, aku merasa seperti berjalan di sebuah garis lurus karena selalu ada para pemimpin dewasa yang menuntunku dan mengayomiku. Namun, kini aku merasa seperti berjalan di dalam labirin karena dikelilingi oleh para pemimpin yang masih kanak-kanak.

Pimpinan antar departemen saling lempar tanggung jawab dan ada kalanya aku atau beberapa orang lain disalahkan atas kesalahan mereka. Namun, untuk menghindari keributan aku berusaha seperti sepenggal lirik lagu Iwan Fals: “seperti biasa aku diam tak bicara...” hingga rasanya aku ingin kabur saja agar tak melihat dan mendengar ulah mereka. Namun, ketika membaca keseluruhan lirik lagu tersebut, aku merasa seakan-akan Naomi (gembala) sedang meminta Rut untuk tetap berada di dekat kaki Boas hingga misi terselesaikan. Maka, Rut berada di sana hingga kegelapan sirna karena pagi telah tiba. Nah, seandainya Rut dan Boas sempat mengalami masalah bisnis, mungkin mereka akan menyanyi berbalasan.

ENTAH – Iwan Fals
Rut: Entah mengapa aku tak berdaya waktu kau bisikkan: “Jangan aku kau tinggalkan.” Tak tahu di mana ada getar terasa waktu kau katakan: “Kubutuh dekat denganmu.”
Boas: Seperti biasa aku diam tak bicara hanya mampu pandangi bibir tipismu yang menari. Seperti biasa aku tak sanggup berjanji, hanya mampu katakan: “Aku cinta kau saat ini, entah esok hari, entah lusa nanti, entah.”
Boas: Sungguh mati betina aku tak mampu beri sayang yang cantik seperti kisah cinta di dalam komik. Sungguh mati betina buang saja angan-angan itu lalu cepat peluk aku, lanjutkan saja langkah kita. Rasalah... Rasalah... apa yang terasa.

Alhasil, alih-alih kabur, ketika dipersalahkan, aku memilih untuk mengakui kesalahanku kepada anak bos sebelum ada orang lain yang melaporkan kesalahanku lalu kupeluk dia dalam doaku... hehehe... Ini sepenggal surat pengakuanku kepadanya setelah membeberkan beberapa peristiwa yang telah terjadi:
==============
Ya... ya... ya... semuanya salahku. Salahku karena tidak cepat dewasa. Salahku karena tidak cepat belajar hingga tidak bisa memahami sistem dan prosedur dengan baik. Salahku hanya menunggu diajari oleh senior. Salahku karena mempercayai mereka sebagaimana aku mempercayai para seniorku di tempat kerja lama. Salahku juga tidak mengecek proses permintaanku. Salahku juga tidak bisa membaca pikirannya seperti seorang goblin. Salahku juga karena tidak memiliki kemampuan melihat masa depan.
Pada akhirnya aku pun tiba pada suatu kesimpulan: “Orang yang tidak pernah berbuat salah adalah orang yang tidak pernah belajar. Jadi, jika aku mau maju, aku harus banyak-banyak berbuat kesalahan yang merugikan mereka. Jika mereka merasa dirugikan olehku, barulah mereka akan mengajariku dan tentu saja setelah mereka mengomel atau marah-marah.” Betul tidak?
==============

Wkwwkw.... surat itu kuberi judul ‘Masalahku = Masalahmu ????” Yach... begitulah surat pengakuan dari orang yang masih bergumul antara membalas atau tetap diam saja, antara bertahan atau kabur. Bagaimana rasanya? Rasanya seperti ingin menyepi ke tempat sunyi agar tak lagi mendengar gosip dan melihat ketidakadilan terjadi, rasanya ingin meratapi keadaan seperti nabi Yeremia, dan rasanya harus siap mati dari diri sendiri seperti Ester.
Galatia 2:20 namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.
Jika kambing hitamnya hanya aku, mungkin aku akan tetap diam seperti biasanya tetapi kambing hitamnya bukan hanya aku. Jadi, aku terpaksa cerita kepada anak bos tetapi aku tidak menyebutkan nama-nama pemimpin dan nama-nama kambing hitamnya meskipun beberapa di antaranya bisa ditebak olehnya...^.^ Namun, tujuan utamaku agar konsultan bos membenahi kualitas pemimpin atau sistem yang ada di sana agar kambing-kambing hitam tak lagi berkeliaran.

Jika kita mau menjadi pemimpin, kita harus siap menanggung kesalahan bawahan karena prestasi bawahan merupakan prestasi pemimpin pula dan salah satu tugas pemimpin adalah mengarahkan bawahan. Jika tidak bisa mengarahkan bawahan, hasilnya tentu hanya bisa menyalahkan bawahan. Betul tidak? Hmmm... mungkin aku pun harus mulai belajar ilmu kepemimpinan.

Bukan Kesanggupan Kami
Uwaaaahhh... tidak Bapa. Aku lebih suka menjadi pengikut daripada menjadi pemimpin karena jika pemimpin tersesat, para pengikutnya bisa ikut tersesat tetapi jika pengikut salah, tentu hanya menyesatkan dirinya. Iya apa iya? Di dalam kekristenan pemimpin bukanlah penguasa, melainkan orang yang melayani jiwa-jiwa yang terbeban dan aku suka itu sekalipun ada kalanya aku tak tahu harus bagaimana menolong mereka? Namun, ada kalanya mereka hanya ingin didengarkan. Jika aku sudah tak sanggup mendengarnya, aku pun mendatangi hadirat Tuhan dan di sana bebanku terlepas...^.^

Ps.Sukirno Tarjadi: Banyak dari kita suka membalas sehingga film-film tentang pembalasan begitu laris. Seringkali kita mendukung orang yang mau melakukan pembalasan. Kita berkata kepadanya: “Ayo maju. Aku dukung. Kupeluk kamu dalam doaku. Aku dukung dari jauh... jauh dari belakang sana.” Namun, orang Kristen tak boleh membalas.

Hahaha... aku memang memeluk seseorang dalam doa tetapi siapa sich yang mendukungku dari jauh... jauh dari belakang sana. Entah... tapi tampaknya aku harus mulai mempelajari segalanya sekalipun aku belum menjadi direktur atau bos. Jadi, aku harus memiliki semangat belajar seperti engkong yang merantau jauh-jauh dari negeri Cina dan menetap di Indonesia sebagai pedagang hingga meninggal di tanah asing ini. Sekarang engkong pasti mendukungku dari jauh... jauh di atas sana... hahaha...

NENEK MOYANGKU SEORANG PEBISNIS
Nenek moyangku orang pebisnis telah merantau ke negeri asing, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa, angin bertiup pantang menyerah, ombak berdebur di tengah bisnis, pemudi b'rani bangkit sekarang, berbisnis kita di dalam Tuhan..^.^
(Lagu asli: Nenek Moyangku Seorang Pelaut)

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.