Sunday, February 5, 2017

Memberi Bisa Bikin Galau

Catatan Ibadah ke-1 Minggu 05 Februari 2017

Beberapa bulan lalu di terminal ketika rembulan mulai tersenyum, naiklah seorang ibu ke dalam bemo yang mulai terisi penuh. Sembari menenteng tas kresek ibu ini menjajakan sisa dagangannya kepada setiap penumpang yang ada di dalam bemo: "klanting, bu... masih hangat... tinggal dua". Namun, ibu-ibu itu menggelengkan kepalanya.

Lalu dia duduk di sebelah kananku dan berkata: "klanting, mbak... masih hangat... tinggal dua". Karena kasihan kepadanya, aku bertanya: "berapaan?" Jawabnya: "dua Rp5000,-... ini masih hangat". Pikirku: "ya udah aku beli saja... kalau enak, bisa kubagikan kepada orang-orang di rumah dan kalaupun tak enak, ya kubuang saja..." Aku pun mencari uang Rp5000,- di dalam tasku. Eh, tiba-tiba dia berkata: "Oh... tinggal 4 mbak... semuanya saja ya... Rp10.000,-?"
Matius 5:42a Berilah kepada orang yang meminta kepadamu...
Melayani Tuhan dengan Perbuatan
Karena hari sudah malam, kemana lagi dia akan menjualnya? Maka, aku pun mengiyakan saja permintaannya. Tanpa membuka bungkusan klanting yang dia berikan, Rp10.000,- kuserahkan padanya. Lalu kami mengobrol sejenak. Aku pun sempat bertanya: "Kenapa jajanannya tidak dititipkan ke penjual kue-kue yang ada di depan pasar S?" Dia pun menyatakan bahwa dia sudah pernah melakukannya tetapi penjual yang dititipi malah tidak pernah menjual kue buatannya. Daripada rugi, dia pun menjualnya sendiri.

Pikirku: "Apa kuenya tidak enak? Penjual di depan pasar S emang cukup jujur. Suatu hari mama pernah berniat membeli kue di lapaknya tetapi dengan terus terang penjual menunjukkan bahwa kue yang ini enak dan kue yang itu tidak enak. Jadi, jika kue ibu ini tidak enak, ya wajar saja bila tidak laku dijual."

Nah, ketika tiba di rumah, keempat bungkusan klanting segera kubuka. Aku pun melihat klanting merah semerah setopan lampu merah yang berarti STOP. Wah, warnanya kok merah ngejreng? Apa ini dibuat dengan pewarna tekstil? Klantingnya juga hanya ditaburi sedikit kelapa dan sedikit gula putih tanpa teman pelengkapnya. Ini sungguh jauh berbeda dari semua klanting yang pernah kumakan. Biasanya klanting itu ditaburi sirup gula merah, cukup banyak parutan kelapa, dan dilengkapi lupis, kue ijo-ijo dan kue item-item (entah apa namanya).

Lantas kucoba mengunyah segelintir klanting tetapi kekenyalannya luar biasa keras. Puih... macam apa ini? Aku buang saja ah sebelum tertelan dan sebelum diketahui oleh seisi penghuni rumah. Ya... kalau kondisinya seperti ini, wajar saja penjual di depan pasar S mau dititipi tetapi tidak mau menjualnya. Lain kali aku tidak mau membelinya lagi. Namun, kasihan dia kalau terus menerus berjualan klanting semacam ini.

Ah, jika besok-besok bertemu dia lagi, apa yang harus kukatakan kepadanya? Jika kukatakan klantingnya lupa kumakan hingga basi lalu kubuang, ini berarti aku bohong. Jika kukatakan klantingnya enak hingga kuhabisin sendiri, dia akan termotivasi untuk membuat banyak klanting serupa itu, wah... kasihan pembelinya donk dan ini berarti aku bohong pula.

Oh, apa yang harus kukatakan padanya? Jika kukatakan dengan jujur bahwa klantingnya tidak enak, tidak kenyal, dan tampilannya tidak menarik hingga aku membuang semuanya, tentu aku akan menyakiti hatinya. Uuuu... gimana donk? Dengan menyakiti hatinya apa aku bisa membantunya? Apa aku bisa mengajarkan cara membuat klanting yang enak? Tidak bisa kan.

Jika kusarankan dia untuk membeli dan menjual produk lain, apa dia mau mendengar saranku apabila keuntungannya jauh lebih kecil daripada klanting merahnya? Jika dia membeli kue basah dari orang lain seharga Rp1700,- lalu menjualnya dengan harga Rp2500,-, dia akan mendapat keuntungan Rp800,- per biji (sebelum dikurangi biaya transportasi). Namun, jika dia buat klanting sendiri dengan bahan baku air, kanji, pewarna merah, parutan kelapa, dan gula putih, tentulah dia bisa meraup keuntungan lebih besar daripada Rp800,-

Hmmm... Seringkali penjual yang terdesak kebutuhan ekonomi cenderung berfokus pada keuntungan jangka pendek hingga tega menjual makanan yang tak layak dimakan. Kalau mereka berfokus pada keuntungan jangka panjang, mereka khawatir hari ini tidak bisa makan. Aduh, rempong nich... aku tak tahu harus berkata apa. Mudah-mudahan saja aku tidak bertemu ibu itu lagi.

Yach, daripada pusing mikirin hal-hal yang tak bisa kulakukan, lebih baik kulakukan saja hal lain yang bisa kulakukan.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.