Catatan Ibadah ke-2 Minggu 24 April 2016
Dulu aku enggan masuk
Kristen karena beberapa teman Kristen mengatakan bahwa kita harus bersaksi jika
sudah masuk Kristen. Kala itu aku berpikir bahwa bersaksi haruslah melakukan
penginjilan. Ah, mana bisa menginjili kalau tidak fasih lidah? Namun, setelah
masuk Kristen aku pun mengetahui bahwa bersaksi tidak harus fasih lidah. Dengan menjadi
pelaku firman, kehidupan kita sehari-hari bisa menjadi suatu kesaksian bagi
orang-orang di sekitar kita.
Meskipun tidak fasih
lidah, kita tetap bisa bersaksi melalui tutur kata dan perbuatan kita yang
sesuai kehendak Tuhan. Walaupun begitu, ada kalanya kita pun perlu bercerita
tentang segala sesuatu yang kita alami dengan Tuhan Yesus.
Kisah Para Rasul 26:16 Tetapi sekarang, bangunlah dan berdirilah. Aku menampakkan diri kepadamu untuk menetapkan engkau menjadi pelayan dan saksi tentang segala sesuatu yang telah kaulihat dari pada-Ku dan tentang apa yang akan Kuperlihatkan kepadamu nanti.
Seringkali ada yang
bertanya: "kamu beribadah di gereja
mana?" Nah, setelah dijawab si penanya langsung terheran-heran dan
bertanya lagi: "kok jauh dari
rumahmu?" Ouch... orang sanguinis dengan senang hati akan berbicara
panjang lebar dari a-z dan jika diperlukan, mereka akan mengulang kembali
ceritanya dari a-z. Namun, bagi orang pendiam, pertanyaan itu menjadi suatu
beban karena pada dasarnya orang pendiam enggan bicara panjang lebar dan hanya
bicara seperlunya saja.
Kalau dijawab, jawabannya
panjang. Kalau tidak dijawab, dikira sombong. Ketika pertanyaan tersebut
diajukan secara online, jawabannya mudah: "silahkan
baca ceritaku yang telah kutulis di peripena.blogspot.com/.........." Lha,
kalau ditanya secara offline, aduh dijawab apa ya? Cerita nggak ya? Kujawab
saja: "ceritanya panjang... baca saja di blogku". Kalau si
penanya tipe orang yang sensitif, tentu tak akan bertanya lagi. Namun, kalau si
penanya bukan orang yang sensitif, pasti dech berkata: "tak apa... cerita saja..."
Oh... o... Pertama kali
cerita mungkin agak enggan tetapi masih bisa bersemangat. Namun, ketika hal
yang sama ditanyakan lagi oleh orang yang berbeda, aduh rasanya semakin malas
bercerita. Ini benar-benar melatih kesabaran. Rasanya seperti menghadapi
seorang anak kecil yang bertanya: "itu
apa?" lalu kujawab "buku".
Eh, bertanya lagi: "buku apa?"
lalu dijawab "buku cerita".
Eh, masih dilanjutkan pertanyaan lagi: "cerita
apa?" dan seterusnya. "Hei,
kamu kok tanya terus sich?"
Oh... mungkin itu masih
belum seberapa. Bagaimana jika rasanya seperti menghadapi orang tua yang pikun?
"Maaf nik, mata emak tidak bisa
melihat dengan jelas. Tolong dibantu baca ini angka berapa?" lalu
dijawab "2". Lalu belum
semenit dia kembali menanyakan hal yang sama. Lagi, lagi, lagi, dan ... "Aargh... capek dech... pergi saja lha
sebelum ditanya-tanya lagi."
0 komentar:
Post a Comment