Catatan Ibadah ke-2 Minggu, 24 Januari 2016
Bisik hatiku: "makanya lain kali kalau melihat pendeta
jangan pura-pura tidak tahu." Jawabku: "lho... aku 'kan tidak tahu harus berkata apa. Daripada mati kutu
ketika melihat wajahnya, 'kan lebih baik pura-pura tidak melihatnya."
Balas hatiku: "tersenyum saja... kamu tidak bisa menghindar terus."
Beberapa jam kemudian
setelah ibadah ke-2 selesai aku duduk-duduk di bangku depan gereja bersama
seorang emak. Tiba-tiba pak Fofo lewat di depan kami karena dia akan naik mobil
yang diparkir di depan kami. Seketika si emak menyalami pak Fofo sembari
berkata: "kenalkan saya emak
E... (diakonia), doakan saya pak."
Dengan tersenyum geli
kubayangkan diriku menyalami pendeta sembari berkata: "kenalkan saya Rully, doakan saya pak" lalu segera
kutepiskan pemikiran itu. Ahahaha... mana mungkin mengatakan hal semacam itu?
Kalau gereja kecil, rasanya masih mungkin. Namun, kalau gereja besar, ya mana
mungkin memperkenalkan diri kepada pendeta. Dengan jumlah jemaat yang amat
buanyak, pendeta tak mungkin ingat semua nama jemaatnya dan pendeta bisa
pingsan bila harus mendoakan jemaatnya satu per satu. Maka, di gereja ada mitra
doa. Jadi, pasti bukan kata-kata semacam
itu. Seharusnya ada perkataan lain yang lebih memungkinkan. Tapi, apa ya?
Ketika ikut PUSH 8,
kuceritakan hal itu kepada seorang teman lalu dia menyarankan untuk berkata: "Tuhan
memberkatimu" ketika bertemu pendeta. Namun, dia pun tidak yakin
akan hal itu. Dia pun mengatakan bahwa pak JS punya anak kembar. “Lho... jadi siapa yang kulihat waktu itu?
Isterinya PM atau saudara kembar isterinya PM?” Oh, hanya Tuhan yang tahu.
Lantas ketika kami berjalan-jalan di taman pada sesi doa pribadi, tanpa sengaja
kami pun berpapasan dengan pendeta JS. Aku pun hanya bisa tersenyum kepadanya. "Oh... rupanya memang benar-benar tidak bisa menghindar terus."
Minggu lalu aku pun
berencana memasuki ruang ibadah utama melalui pintu belakang seperti yang
sudah-sudah. Namun, pagi itu masih sepi karena ibadah baru dimulai sejam
kemudian. Di bawah tangga pintu utama kulihat ada Yohanes pembaptisku sedang
berdiri menunggu di sana sembari membawa warta gereja. "Waduh... ada pak Johannes. Mana bisa lewat pintu belakang?
Kecuali aku berpura-pura tak melihatnya. Tapi, ya mana mungkin begitu karena
jelas-jelas hanya ada kami berdua."
Ketika semakin dekat
tangga pintu utama, pak Johannes segera menyongsongku untuk menyodorkan warta
gereja sambil mengucapkan syalom.
Dengan segera aku menyambutnya sembari berkata "syalom" tetapi di dalam hati aku berkata: "Ya udah dech... terpaksa masuk lewat
pintu utama."
Kalau bertemu pendeta di
dekat pintu ruang ibadah, bersalamannya sambil mengatakan: "syalom" tetapi kalau bertemunya di dalam ruang ibadah
atau jauh dari ruang ibadah, apa juga pakai kata "syalom"? Ah... entahlah... pastinya aku tidak mungkin
menutupi wajahku dengan sayap seperti serafim. Tapi, gimana yach agar tidak mati kutu saat melihat wajah pendeta?
0 komentar:
Post a Comment