Sunday, May 24, 2015

Siraman Rohani Penguat Jiwa


Khotbah dari mantan bankir (pdt.Leonardo Sjiamsuri) dan buletin Voice hari ini telah membuatku teringat kepada ‘siraman rohani’ mantan bankir lainnya.

Konon hiduplah Singdelara yang pengangguran lalu dia menuliskan sayembara pencarian kerja di dunia antah berantah. Ketika melihat sayembara tersebut, emak sihir yang telah berumur lebih dari 70 tahun segera meminta dia bekerja kepadanya lalu Singdelara menegosiasikan gaji dan fasilitas antar jemputnya.

Lantas suara hati Singdelara segera berbisik: "permintaanmu akan disetujui tetapi kamu tidak akan suka bekerja di tempatnya." Namun, Singdelara mengabaikan suara hatinya karena melihat keadaannya yang sedang menganggur tanpa uang.

Hari pertama bekerja di sana Singdelara mulai merasa tak nyaman tetapi pikirnya: "Mungkin ini hanya permulaan, aku belum terbiasa." Sebelum pulang dia menagih antar jemput yang dijanjikan emak sihir. Lantas dia pulang bersama emak sihir. Eh... janji tinggal janji... ternyata mobil antar jemputnya tidak dilewatkan halte yang telah disepakati. Wew... alhasil masih harus oper, oper, dan oper lagi. "Tak apalah... syukuri saja... mungkin masih ada hal indah lain yang bisa kudapatkan di sana."

Hari kedua tak jauh berbeda dari hari pertama. Kehadiran Singdelara tetap tak disambut gembira oleh si Kegi padahal dia di sana untuk menggantikan si Kegi. Kegi terlihat sangat benci kepada emak sihir sehingga Kegi mengajari Singdelara dengan penuh amarah dan tak rela. "Tak apalah hanya menghitung hari... Si Kegi 'kan segera menjauh pergi." Usut punya usut si Kegi amat benci kepada emak sihir karena pernah dimaki-maki.

Belajar Mengandalkan Tuhan
Hari ketiga Singdelara menghadap kakek Titi Teliti - mantan bankir setelah hasil kerjanya diperiksa dan dinyatakan benar oleh si Kegi. Kakek Titi Teliti marah-marah: "Ini salah". Dengan bingung Singdelara berkata: "Ini sudah diperiksa oleh si Kegi dan katanya sudah benar." Namun, kakek Titi Teliti tetap mengatakan bahwa pekerjaannya salah dan harus diperbaiki lagi.

Selanjutnya Singdelara pun mendapatkan ‘siraman rohani penguat jiwa’: "Saya ini pernah bekerja di bank selama puluhan tahun. Di bank tidak boleh salah sedikit pun. Contoh 'Ahmad' tidak boleh ditulis 'Amad' karena orangnya sudah berbeda. Jadi, saya ini sangat teliti. Meskipun sekarang saya sudah berumur 70 tahun lebih, saya tetap sangat teliti. Kamu boleh tanya kepada karyawan lain tentang ketelitian saya.  Kamu pun harus teliti."

Singdelara hanya mengiyakan sambil berkata dalam hati: "Iya.. iya... tapi ini 'kan pabrik... ini bukan bank... jingjay dikit lha (bertoleransi lha)... aku tahu di atas langit masih ada langit. Atasan-atasanku sebelumnya selalu memuji-muji ketelitianku karena mereka tidak seteliti aku. Namun, sekarang aku menemukan sosok yang lebih teliti daripada aku. Ah, sayang sekali... kelihatannya kakek ini belum pernah bertemu orang yang lebih teliti daripadanya sehingga dia masih marah-marah dan tak bisa mentoleransi kesalahan orang lain. Sayang sekali masa tua tak bahagia... habiskan energi 'tuk marah-marah... kasihan... kasihan... kasihan..."

Hari keempat Singdelara mulai berpikir meninggalkan tempat kerjanya karena dia juga mendengar beberapa teman kerja mulai berkasak-kusuk di belakangnya perihal kekurangannya yang tak suka berdandan karena terhasut omongan si Kegi. Namun, dengan berusaha tetap tersenyum Singdelara pun menyambut saran mereka sekedarnya saja. "Ah, kumau menjadi diriku sendiri dan bukan seperti mereka yang cantik di luar, kotor di dalam."

Hari kelima Singdelara menyampaikan pengunduran dirinya kepada emak sihir. Emak sihir pun marah-marah dan mengucapkan sumpah serapah: "Kamu nggak isa gitu... mbepok kamu... nggak main... kamu sudah kugaji lebih tinggi daripada yang lain."
Jawab Singdelara: "Maaf mak, tapi aku sudah dapat pekerjaan di tempat lain yang lebih dekat rumah dan transportasinya lebih mudah daripada kalau ke sini."
Emak sihir: "Iya udah tapi tunggu dapat penggantimu dan kamu harus ajari dia sampai bisa."
Timpal Singdelara: "Iya, tapi aku hanya bisa sampai akhir bulan ini karena aku sudah janjian dengan tempat kerjaku yang baru."
Emak sihir pun marah-marah lagi: "Nggak isa gitu. Kalau kamu seperti ini, aku akan menjelek-jelekkan namamu di depan orang lain."

Singdelara pun meninggalkan ruangan emak sihir dengan tekad kuat untuk menuntaskan tugasnya hingga akhir bulan. Sebenarnya sempat terlintas di benaknya untuk langsung pergi hari itu juga tanpa serah terima pekerjaan tetapi teman karibnya menyarankan dia untuk keluar baik-baik.

Meskipun demikian, sejak hari itu Singdelara tidak mau lagi pulang ke rumah dengan menumpang mobil antar jemputnya emak sihir. Untunglah pada saat bersamaan ada karyawan baru di tempat tersebut yang bersedia memberi tumpangan kepadanya sehingga dia tidak perlu berjalan kaki untuk tiba di jalan raya.

0 komentar:

Post a Comment

* Semua Catatan Ibadah di blog ini tidak diperiksa oleh Pengkhotbah terkait.