Khotbah dari mantan bankir (pdt.Leonardo
Sjiamsuri) dan buletin Voice hari ini telah membuatku teringat kepada ‘siraman
rohani’ mantan bankir lainnya.
Konon hiduplah Singdelara
yang pengangguran lalu dia menuliskan sayembara pencarian kerja di dunia antah
berantah. Ketika melihat sayembara tersebut, emak sihir yang telah berumur
lebih dari 70 tahun segera meminta dia bekerja kepadanya lalu Singdelara
menegosiasikan gaji dan fasilitas antar jemputnya.
Lantas suara hati
Singdelara segera berbisik: "permintaanmu
akan disetujui tetapi kamu tidak akan suka bekerja di tempatnya."
Namun, Singdelara mengabaikan suara hatinya karena melihat keadaannya yang
sedang menganggur tanpa uang.
Hari pertama bekerja di sana Singdelara mulai merasa tak
nyaman tetapi pikirnya: "Mungkin ini
hanya permulaan, aku belum terbiasa." Sebelum pulang dia menagih antar
jemput yang dijanjikan emak sihir. Lantas dia pulang bersama emak sihir. Eh...
janji tinggal janji... ternyata mobil antar jemputnya tidak dilewatkan halte
yang telah disepakati. Wew... alhasil masih harus oper, oper, dan oper lagi. "Tak apalah... syukuri saja... mungkin masih ada hal
indah lain yang bisa kudapatkan di sana."
Hari kedua tak jauh berbeda dari hari pertama. Kehadiran
Singdelara tetap tak disambut gembira oleh si Kegi padahal dia di sana untuk
menggantikan si Kegi. Kegi terlihat sangat benci kepada emak sihir sehingga
Kegi mengajari Singdelara dengan penuh amarah dan tak rela. "Tak apalah hanya menghitung hari... Si Kegi 'kan
segera menjauh pergi." Usut punya usut si Kegi amat benci
kepada emak sihir karena pernah dimaki-maki.
Hari ketiga Singdelara menghadap kakek Titi Teliti - mantan
bankir setelah hasil kerjanya diperiksa dan dinyatakan benar oleh si Kegi.
Kakek Titi Teliti marah-marah: "Ini
salah". Dengan bingung Singdelara berkata: "Ini sudah diperiksa oleh si Kegi dan katanya sudah benar." Namun,
kakek Titi Teliti tetap mengatakan bahwa pekerjaannya salah dan harus
diperbaiki lagi.
Selanjutnya Singdelara
pun mendapatkan ‘siraman rohani penguat jiwa’: "Saya ini pernah bekerja di bank selama puluhan tahun. Di bank
tidak boleh salah sedikit pun. Contoh 'Ahmad' tidak boleh ditulis 'Amad' karena
orangnya sudah berbeda. Jadi, saya ini sangat teliti. Meskipun sekarang saya
sudah berumur 70 tahun lebih, saya tetap sangat teliti. Kamu boleh tanya kepada
karyawan lain tentang ketelitian saya.
Kamu pun harus teliti."
Singdelara hanya
mengiyakan sambil berkata dalam hati: "Iya.. iya... tapi ini 'kan pabrik... ini bukan
bank... jingjay dikit lha (bertoleransi lha)... aku tahu di atas langit masih
ada langit. Atasan-atasanku sebelumnya selalu memuji-muji ketelitianku karena
mereka tidak seteliti aku. Namun, sekarang aku menemukan sosok yang lebih
teliti daripada aku. Ah, sayang sekali... kelihatannya kakek ini belum pernah
bertemu orang yang lebih teliti daripadanya sehingga dia masih marah-marah dan
tak bisa mentoleransi kesalahan orang lain. Sayang sekali masa tua tak
bahagia... habiskan energi 'tuk marah-marah... kasihan... kasihan... kasihan..."
Hari keempat Singdelara mulai berpikir meninggalkan tempat
kerjanya karena dia juga mendengar beberapa teman kerja mulai berkasak-kusuk di
belakangnya perihal kekurangannya yang tak suka berdandan karena terhasut
omongan si Kegi. Namun, dengan berusaha tetap tersenyum Singdelara pun
menyambut saran mereka sekedarnya saja. "Ah, kumau
menjadi diriku sendiri dan bukan seperti mereka yang cantik di luar, kotor di
dalam."
Hari kelima Singdelara menyampaikan pengunduran dirinya
kepada emak sihir. Emak sihir pun marah-marah dan mengucapkan sumpah serapah: "Kamu nggak isa gitu... mbepok kamu...
nggak main... kamu sudah kugaji lebih tinggi daripada yang lain."
Jawab Singdelara: "Maaf mak,
tapi aku sudah dapat pekerjaan di tempat lain yang lebih dekat rumah dan
transportasinya lebih mudah daripada kalau ke sini."
Emak sihir: "Iya udah tapi tunggu dapat penggantimu
dan kamu harus ajari dia sampai bisa."
Timpal Singdelara: "Iya, tapi
aku hanya bisa sampai akhir bulan ini karena aku sudah janjian dengan tempat
kerjaku yang baru."
Emak sihir pun
marah-marah lagi: "Nggak isa gitu.
Kalau kamu seperti ini, aku akan menjelek-jelekkan namamu di depan orang
lain."
Singdelara pun
meninggalkan ruangan emak sihir dengan tekad kuat untuk menuntaskan tugasnya
hingga akhir bulan. Sebenarnya sempat terlintas di benaknya untuk langsung
pergi hari itu juga tanpa serah terima pekerjaan tetapi teman karibnya
menyarankan dia untuk keluar baik-baik.
Meskipun demikian, sejak
hari itu Singdelara tidak mau lagi pulang ke rumah dengan menumpang mobil antar
jemputnya emak sihir. Untunglah pada saat bersamaan ada karyawan baru di tempat
tersebut yang bersedia memberi tumpangan kepadanya sehingga dia tidak perlu
berjalan kaki untuk tiba di jalan raya.
0 komentar:
Post a Comment