Catatan Ibadah ke-2 Minggu, 14 Februari 2016
Philip Mantofa: “Siapa yang masih jomblo? Angkat tangannya.”
Hahaha... untuk yang ini, aku tidak mau angkat
tangan lha. Aku tidak jomblo tetapi single.
Jomblo itu nasib tetapi single adalah pilihan.
Sekitar SD kelas 4 atau 5
sebelum tidur malam aku berdoa: "Tuhan,
aku tidak ingin menikah. Maka, aku tidak mau punya pacar pula. Lebih baik
mengasihi daripada mencintai karena kasih itu luas tanpa batas seperti kasih-Mu
kepadaku dan bisa dibagikan kepada semua orang tetapi cinta itu egois karena
hanya ditujukan kepada seseorang. Jika aku menerima cinta seseorang, bisa saja aku akan menyakiti orang lain atau temanku
yang mengharapkan cinta orang tersebut. Aku tak ingin ada orang yang terluka
karena aku. Namun, jika Engkau ingin aku menikah, aku hanya mau hal itu terjadi
sekali seumur hidup. Karena
pernikahannya hanya sekali, tentu pacarannya juga harus sekali seumur hidup.
Jadi, pacar pertamaku harus menjadi pacar terakhirku atau tidak usah pacaran
sama sekali dan tidak usah menikah sama sekali."
Hehehe... Berbekal
komitmen tersebut hidup pun terus
berjalan dengan penuh sukacita walaupun bumi gonjang-ganjing. Semasa SMP
ada seorang teman pria menelepon ke rumah untuk kesekian kalinya tetapi kali
ini kebetulan aku sendiri yang menjawabnya. Dia bertanya: "Rully ada?" lalu dengan segera kujawab: "Oh, tidak ada, dia baru saja
pergi".
Keesokan harinya di
sekolah dia bertanya kepadaku: "Kemarin
kamu kemana pergi malam-malam?" Dengan segera kukatakan bahwa aku ke
rumah saudaraku tetapi sepertinya dia tidak percaya. Dia pun bertanya: "Siapa yang menjawab teleponku semalam,
kok seperti suaramu?" Aku pun mengatakan bahwa adikku yang jawab dan
suaranya memang mirip aku.
Nah, semenjak saat itu
dia tidak lagi meneleponku dan berhenti melakukan pdkt (pendekatan). Hehehe...
tampaknya kebohonganku langsung diketahui olehnya tetapi aku merasa lega. Lebih baik tidak memberikan harapan
kepadanya sejak dini daripada memberikan harapan palsu. Namun, seharusnya
tidak berbohong sich. Betul tidak?
Namun, cecenya mama (Ai)
tidak bisa menerima keputusanku. Suatu ketika (sekitar tahun 2005) dia naik
mobil travel dari Jogja ke Surabaya.
Di dalam travel dia bertemu seorang
pengusaha beragama Kristen yang mengaku masih single. Segera saja dia memintanya datang ke rumahku untuk
berkenalan denganku.
Aku tidak suka
dijodohkan, terutama dengan orang asing yang tidak jelas asal usulnya. Jika aku
sampai dijodohkan dan dipaksa menikah, aku akan kabur dari rumah. Namun,
untunglah ortu dan Ai hanya memintaku berkenalan dengannya. Maka, aku pun
berkenalan dengannya dan berkenalan pula dengan temannya (yang katanya punya
kemampuan 'melihat orang'). Namun, setelah itu aku segera menghilang dan
membiarkan pria-pria itu mengobrol sepuasnya dengan ortu dan Ai.
Tak lama berselang
pria-pria itu berpamitan pergi dengan basa-basi akan kembali lagi tetapi tentu
saja mereka tidak akan kembali lagi. 'Pelihat' itu pun pasti sudah paham. Nah,
semenjak saat itu Ai enggan menjodoh-jodohkan aku lagi. Hehehe... seharusnya
begitu lha. Selain itu, kok bisa-bisanya
sich baru kenal sama orang asing langsung percaya begitu saja? Kalau
dibohongi, gimana donk?
0 komentar:
Post a Comment